30 September 2010

50 Tahun Debat Televisi Bersejarah John F Kennedy dan Richard M Nixon

Beberapa hari lalu, tidak terasa genap 50 Tahun Debat Televisi Bersejarah antara John F Kennedy dan Richard M Nixon. Dalam kaitan debat bersejarah di televisi tersebut, Bruce Morton dari desk politik CNN, dalam sebuah tulisannya pada 26 September 2005, mengungkapkan bahwa perdebatan televisi pertama kandidat presiden pada Senin 26 September 1960 antara Senator Partai Demokrat John F. Kennedy dan Wakil Presiden Richard M. Nixon dari Partai Republik, tidak hanya mempunyai dampak besar pada pemilihan presiden (pilpres) 1960. Menurutnya debat bersejarah itu telah mengubah lanskap politik Amerika Serikat selanjutnya ke arah yang lebih baik. Momentum tersebut juga telah membuka era baru perdebatan televisi.

Debat kali pertama Kennedy dan Nixon dari empat putaran yang telah disepakati keduanya itu berlangsung di studio televisi CBS Chicago 26 September 1960. Dilanjutkan putaran kedua pada 7 Oktober di Washington. Kemudian putaran ketiga debat jarak jauh, Kennedy di New York sedangkan Nixon di Los Angeles pada 13 Oktober. Dan ditutup debat putaran keempat yang berlangsung di New York pada 21 Oktober. Disiarkan secara langsung pada para pemirsa televisi Amerika Serikat, perdebatan dua capres itu diudarakan langsung pula oleh stasiun-stasiun radio.

Jauh hari sebelum debat dimulai, hasil jajak pendapat menempatkan Nixon sebagai kandidat presiden yang diunggulkan dan akan memenangkan pilpres pada November 1960. Oleh karenanya, publik Amerika Serikat saat itu merasa heran mengapa Nixon sebagai Wakil Presiden mau menerima tantangan Kennedy untuk mengadakan perdebatan di depan televisi, padahal ia tak akan mendapatkan keuntungan sedikitpun sedangkan Kennedy akan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menanggung resiko yang tak berarti.

Negosiasi untuk mengadakan debat itu sendiri berlangsung cukup alot. Kubu Nixon semula mengajukan hanya satu putaran, dan berharap akan meng-knock out (KO) Kennedy. Sedangkan Kubu Kennedy menginginkan lima putaran. Akhirnya disepakati kedua kubu tersebut, debat berlangsung empat putaran. Pada tampilan pertama keduanya di hari Senin bersejarah itu, bukannya Nixon yang meng-knock out (KO) Kennedy seperti yang diharapkan, namun justru sebaliknya Nixon-lah yang KO lebih dahulu.

Pada tahun 1960 di Amerika Serikat terdapat 40 juta pesawat televisi. Siarannya belum berwarna, dan masih televisi hitam putih. Pesawat ini mempunyai kemampuan untuk membentuk pendapat umum yang jauh lebih besar ketimbang gereja, sekolah, media massa cetak ataupun buku-buku. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah dua orang calon presiden akan berdebat di depan kamera televisi. Diperkirakan 80 juta pemirsa menyaksikan acara perdebatan pada 26 September itu melalui layar televisi, sedangkan beberapa juta lainnya mendengar dari siaran radio.

The Great Debate

Publikasi media massa yang gencar beberapa hari sebelumnya untuk momen “the great debate” 26 September yang dimoderatori Howard K. Smith dari jaringan CBS News tersebut, tak pelak menyebabkan publik Amerika Serikat penasaran dan berduyun-duyun terpaku di depan layar televisi untuk menyaksikan debat pertama calon pemimpinnya itu.

John F. Kennedy mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk terjun ke kancah perdebatan. Kennedy tampil tenang, santai dan luwes serta meyakinkan. Ia juga cekatan dan tangkas menjawab pertanyaan-pertanyaan dan ulasan-ulasan yang datang dari moderator maupun dari Wakil Presiden Richard M. Nixon sendiri, sembari tak lupa untuk melihat ke arah kamera — ke arah penonton – bukannya melihat kepada lawan debat.

Tetapi sebaliknya Nixon tampak tegang, seolah-olah ketakutan, kurang lancar dan selalu keringatan dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya atau jawaban-jawabannya yang kurang meyakinkan dan tidak menunjukkan pandangannya ke arah penonton televisi. Lebih daripada itu, raut muka Nixon kelihatan pucat.

Raut muka Nixon yang pucat pasi itu disebabkan ia tidak mau memakai bedak (make up) sebelum tampil, sebaliknya Kennedy memakainya. Di bawah sorotan lampu-lampu terang benderang dalam studio CBS, keputusan Nixon tidak mau mukanya disapu bedak itu tak ayal berakibat fatal. Dalam siaran langsung televisi saat itu yang masih teknologinya hitam putih, dihadapan pemirsa televisi terlihat Nixon tampak pucat pasi bagaikan lilin yang meleleh.

Menggambarkan perihal momen itu, dalam buku The Kennedys Dynasty and Disarter 1848-1884 yang diterbitkan McGraw-Hill, John H. Davis menandaskan bahwa apa yang disuguhkan media televisi pada debat pertama itu ialah memberikan kesempatan kepada publik Amerika Serikat untuk membuat penilaian tentang dua kepribadian. Oleh karena para pemirsa sudah terbiasa menonton para aktor dan aktris Hollywood yang penuh daya tarik, maka sesungguhnya Kennedy bukanlah tandingan Nixon. Kennedy penuh daya tarik, muda, penuh gaya dan karisma, sedangkan Nixon tampak tegang dan kaku ibarat sebatang kayu.

Setelah debat berakhir semua penguji pendapat umum sampai pada kesimpulan yang sama yaitu John F. Kennedy “menang”. Dan seakan-akan sebagai suatu pengesahan akan kemenangan itu lebih banyak orang hadir pada setiap pemunculan Kennedy dalam kampanye yang diselenggarakan sesudah debat televisi pertama itu berlangsung. Sebaliknya pendengar radio Amerika Serikat yang jumlahnya relatif sedikit, memberikan angka “kemenangan” pada Richard M. Nixon.

Dari empat putaran debat dimaksud, debat pertama dengan mengangkat masalah-masalah kebijakan dalam negeri itu Kennedy menang. Selebihnya Nixon mengungguli. Sayangnya debat pertama dengan pemirsa sangat besar itu terpatri mendalam dibenak pemirsa ketimbang sesudahnya.

Akhirnya pada pemilihan presiden 8 November 1960, John F. Kennedy keluar sebagai pemenang dengan selisih suara tipis pada popular vote. Ia meraih 34.220.984 popular vote (49,7 %), sedangkan rivalnya Nixon memperoleh 34.108.157 popular vote (49,6 %). Sementara pada tingkat electoral vote, Kennedy jauh meninggalkan Nixon dengan perolehan 303 suara sedangkan lawannya hanya mendapat 219 suara.

Dampak Besar

Para pemerhati politik saat itu berpendapat bahwa dampak besar siaran televisi itu telah membawa keuntungan politik yang sangat besar bagi Kennedy. Seolah-olah suatu mukjizat dalam dunia politik — terpilihnya seorang Katolik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 untuk pertama kalinya di tengah mayoritas Protestan– tampaknya bukan barang yang mustahil lagi. Bila seorang Katolik keturunan Irlandia dapat terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat bukan saja keluarga Kennedy yang mendapat kemenangan, tetapi sukses itu akan menghilangkan awan gelap prasangka dan mendung kelabu diskriminasi terhadap semua orang Amerika yang bukan keturunan kulit putih Protestan Anglo Saxon.

Memperhatikan dampak televisi dalam kampanye pemilihan presiden, beberapa pengamat media massa berpendapat bahwa andaikata pada zaman George Washington sudah ada televisi mungkin ia tidak akan terpilih sebagai presiden karena mukanya datar tanpa ungkapan apapun juga sedangkan tingkah-lakunya kaku. Pengamat lain berpendapat bahwa Franklin Delano Roosevelt yang lumpuh setengah badannya dan terpaksa memakai kursi dorong kemungkinan besar juga tak akan terpilih.

Rekor Terpecahkan

Berselang hampir 50 tahun kemudian, rekor Kennedy dipecahkan. Seorang muda berkulit hitam keturunan Afro-Amerika, orator seperti halnya Kennedy, dan seorang senator serta dari Partai Demokrat sama halnya dengan Kennedy sukses mengukir kemenangan dalam pilpres Amerika Serikat pada pemilihan presiden November 2008. Dia tak lain adalah Barack H. Obama. Presiden Amerika Serikat ke-44 untuk masa bakti 2008-2012.

Mengikuti jejak seniornya John F. Kennedy pula, Obama paham betul teknologi informasi dapat mendongkrak popularitas dan elaktibilitas seseorang di kancah politik. Ia mendayagunakan saluran-saluran media massa dan informasi yang tersedia untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya dan meyakinkan publik. Mengawinkan media televisi dan media internet, debat Barack H. Obama dan John McCain seakan mengulangi kembali sejarah perdebatan Kennedy dan Nixon. Skor akhir dimenangkan Obama, dan ia melenggang mulus menuju Gedung Putih. (Kompasiana)

Read More ..

24 September 2010

Revolusi Menonton Layar Kaca

Industri telekomunikasi global sedang dihebohkan dengan hadirnya layanan Google TV pada akhir September. Google TV adalah layanan televisi berkonektivitas Internet sebagai Internet-Enabled Television (IETV) yang dibesut oleh konsorsium Google, Sony, Intel, dan Logitech. Direncanakan harga layanan ini sekitar 299 dollar AS. Banyak analis menilai kehadiran Google TV adalah sebuah revolusi. Sebab, Google TV akan mengubah total cara manusia menonton televisi.

Jika selama ini pemirsa harus mengikuti jadwal yang ditentukan stasiun televisi untuk menonton siaran favorit, dengan televisi online, pemirsa yang menentukan jadwal.

Selain Google TV, produk IETV yang menjadi perbincangan adalah Apple TV. Apple Inc merilis set-top-box (STB) Apple TV generasi kedua pada 1 September 2010. Di Amerika Serikat (AS), Apple memasarkan Apple TV generasi kedua yang dilengkapi WiFi dengan harga 99 dollar AS per unit.

Perbedaan antara Google TV dan Apple TV terletak pada kemampuan perangkat besutan Apple untuk berkomunikasi dengan alat-alat elektronik lain seperti iPad, iPhone, dan iPod.

Tetapi, Apple TV tidak dilengkapi web browser, sedangkan Google TV memiliki Chrome. Firma riset DisplaySearch Ltd menilai Google merilis layanannya pada saat yang tepat karena para produsen televisi memang berlombalomba menanam konektivitas Internet built-in ke dalam pesawat televisi untuk mendongkrak volume penjualan.

Misalnya, menyajikan konferensi video atau menampilkan halaman berita online. Firma riset iSuppli Corp mengungkapkan popularitas televisi berkonektivitas Internet di dunia meningkat pesat seiring peningkatan penetrasi jaringan Internet berkecepatan tinggi (broadband).

iSuppli yakin volume penjualan global IETV akan melambung menjadi 87,6 juta unit pada 2013. Secara global, STB IPTV pada 2010 akan meningkat 48,2 persen menjadi 28,7 juta unit,dari 19,4 juta unit pada 2009.

Sedangkan Coumpound Annual Growth Rate (CAGR) tumbuh rata-rata 25 persen per tahun mulai 2009 hingga 2014 dengan volume 58 juta unit pada 2014. Kondisi Indonesia Di Indonesia, layanan televisi berbasis Internet belum begitu booming.

Namun, beberapa operator telah bersiap menyambut datangnya revolusi industri hiburan ini mengingat nama besar Apple dan Google yang mampu mengubah pasar layaknya Android, iPhone, atau iPad.

“Kami berminat untuk menghadirkan koneksi Internetnya jika ada pengguna memiliki perangkatnya. Sedangkan untuk bekerja sama dengan kedua perusahaan asing itu masih pikir-pikir dulu,” ungkap Division Head Vas Marketing Indosat Teguh Prasetya kepada Koran Jakarta, Rabu (22/9).

Executive General Manager Akses Telkom M Awaluddin mengatakan Telkom justru akan menghadirkan Internet Protocol TV (IPTV) mulai Oktober nanti di Jakarta. “Kami tetap pada road map pengembangan IPTV. Ini berbeda dengan internet TV ala dua pemain raksasa itu.

Jakarta menjadi kota pertama yang akan menikmati trial IPTV,” ungkapnya. IPTV adalah layanan televisi layaknya penyiaran biasa, namun jaringannya berbasis Internet Protocol (IP).

Telkom mengklaim akan menghadirkan siaran dengan kecepatan hingga 8 Mbps, dan pelanggan akan dikenakan skema berlangganan ala Speedy. Praktisi telematika Raherman Rahanan mengatakan layanan IETV hanya akan berkembang di kota-kota metropolitan dunia, sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia akan lambat mengingat kendala pengadaan infrastruktur.

Untuk negara-negara tertentu, efek latency, jitter, dan delay terjadi sangat serius. Misalnya untuk menonton tayangan Fashion TV agar gambar didapatkan dengan kualitas normal, membutuhkan bandwitdh streamin di atas 750 kbps.

“Infrastruktur tidak hanya menyangkut last mile, tetapi juga hosting server di mana Google dan Apple harus membuat semacam mirror di region-region tertentu,” jelas Awaluddin.

Dia yakin, walau ada IETV, layanan TV kabel atau IPTV untuk sementara waktu tidak akan tergeser karena Google TV mungkin akan lebih fokus ke arah Global Channels dan Informasi Global, Apple TV ke hiburan, sementara IPTV dan TV kabel lebih fokus ke konten lokal di samping Global Entertainment.

“Untuk level entertainment, masih banyak orang yang meragukan kemampuan Google ketimbang Apple. Sementara itu, manajemen siaran untuk TV kabel dan IPTV sudah jauh lebih matang.

Secara umum, Google membuat layanan ini untuk memperluas pangsa iklannya dan pengguna, sementara Apple lebih pada sisi komersial,” jelasnya. Praktisi telematika Faizal Adiputra mengingatkan, jika Google TV dan Apple TV masuk ke Indonesia, porsi konten lokal harus diperhatikan.

“Indonesia tidak bisa terusterusan menjadi konsumen yang baik. Pengembang lokal harus diberi kesempatan oleh kedua perusahaan,” katanya.

Menurutnya, operator berada dalam posisi dilematis dengan kehadiran dua layanan itu karena di satu sisi, Average Revenue Per User (ARPU) meningkat karena penggunaan layanan data, tetapi di sisi lain menjadi beban bagi jaringan.

“Solusinya harus ada skema bisnis yang menguntungkan ditawarkan oleh kedua belah pemain asing itu bagi operator lokal. Jika tidak, operator lokal hanya menjadi dumb pipe,” jelasnya.

Read More ..

16 September 2010

Google Memulai Siaran TV di AS

CEO Google Inc. Eric Schmidt mengatakan layanan siaran televisi Google akan dilakukan musim gugur tahun ini di Amerika Serikat dan akan disiarkan ke seluruh dunia tahun depan. Siaran TV akan gratis dan Google bekerja sama dengan aneka pembuat program acara dan melakukan kerjasama dengan produsen elektronik.

Eric berbicara saat pameran elektronik di Berlin, tentang rencana penyedia program acara di TV.

Sony minggu lalu telah setuju dengan adanya Google TV di perangkat televisinya, dan Samsung sedang melakukan penjajakan.

Ini dilakukan setelah kurang dari seminggu saat Apple mengungkap produk TV terbarunya dan siap bertarung memperebutkan pasar iklan ditelevisi seluruh dunia yang diduga senilai $ 180 milyar.

Read More ..

07 September 2010

Selama Ramadhan, KPI Tegur Empat Program

Empat program yang ditayangkan empat stasiun TV ditegur karena melecehkan kelompok minoritas serta melanggar norma kesopanan dan kesusilaan. Keempat program tersebut adalah “Bukan Buka Biasa” (Global TV), “New Star” (RCTI), “Saatnya Kita Sahur” (Trans TV) dan “Wayang on Stage” (ANTV).

Program “Bukan Buka Biasa” yang ditayangkan oleh stasiun Global TV pada pukul 17.30 WIB ditegur karena pada 11 Agustus dan 12 Agustus 2010 menayangkan adegan penghinaan terhadap kelompok masyarakat minoritas. Untuk itu, KPI Pusat menilai program ini telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 8 dan Pasal 11 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2009 Pasal 9 dan Pasal 15 ayat (1) huruf d.

Berikutnya, Program Siaran “New Star” yang ditayangkan oleh stasiun RCTI pada pukul 03.00 WIB pada 14, 16 dan 21 Agustus 2010 menayangkan adegan memasukkan benda ke mulut secara paksa, menoyor kepala, meremas-remas wajah secara kasar, dan penghinaan fisik terhadap salah satu pemain. Penayangan adegan di atas dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2009 Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c serta Standar Program Siaran Pasal 9, Pasal 15 huruf d dan Pasal 27 ayat (1).

Trans TV juga tidak luput dari teguran, programnya, “Saatnya Kita Sahur” yang ditayangkan pada pukul 02.30 WIB, 12 Agustus 2010, menayangkan adegan ketika tokoh Adul mendorong dan memasukkan alat sejenis tongkat ke mulut lawan main lain secara paksa. Sedangkan pada 18 Agustus tokoh Olga mengeluarkan kata menghina fisik lawan main.

Selanjutnya pada 22 Agustus 2010 tokoh Olga juga berdansa sambil bergumul di luar batas kewajaran. Pelanggaran juga kembali terjadi pada 2 September 2010 dengan menayangkan percakapan yang mengambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seksual yang dilontarkan Komeng.

Karena menayangkan adegan tersebut, Trans TV dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2009 Pasal 8, Pasal 11 huruf c, dan Pasal 13 serta Standar Program Siaran Pasal 9, Pasal 15 huruf d, dan Pasal 17 huruf j.

Berikutnya, program ke empat yang ditegur adalah Wayang On Stage” yang ditayangkan oleh stasiun ANTV pada pukul 17.00 WIB. Pada 22 Agustus 2010, pelanggaran yang dilakukan adalah penghinaan terhadap kelompok marginal dan penghinaaan terhadap orang tua dalam sebuah poster iklan. Pada 11 Agustus 2010, dalam program ini juga ditayangkan adegan mengubah lagu “keong racun” yang dianggap melecehkan kaum minoritas.

Karena menayangkan adegan ini, ANTV dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 8 dan Pasal 11 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2009 Pasal 9 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b, c, dan d.

Dalam surat yang ditandatangani Dadang Rahmat Hidayat dan dikirimkan serempak kepada empat stasiun pada 3 September 2010, dinyatakan KPI Pusat akan terus melakukan pemantauan. Kemudian, keempat stasiun tersebut juga diingatkan, jika tidak segera dilakukan perbaikan, KPI Pusat akan memberikan sanksi administratif teguran tertulis kedua atau sanksi administratif yang lebih berat sesuai dengan kewenangan KPI yang diamanatkan dalam UU Penyiaran. (KPI)

Read More ..