28 November 2009

Digitalisasi di Inggris Belum Diikuti Dengan Keterampilan Digital Pekerja Media

Siaran televisi Inggris Raya telah memasuki era digital, tetapi perusahaan-perusahaan televisi di Inggris dirasakan telah gagal mempersiapkan para stafnya dengan keterampilan yang memadai di bidang digital. Setidaknya hal itulah yang diungkapkan dari hasil survei Broadcast, Inggris.

Survei juga dilakukan oleh Digital Future pada saat para broadcaster, gamers dan para profesional kreatif di bidang media Inggris berkumpul di acara yang bertajuk "The Broadcast-backed Media Festival" di Salford, Lancashire, Inggris.

Survei Digital Future memperlihatkan industri televisi Inggris menghadapi tantangan di bidang produksi dan keuangan setelah hadirnya berbagai inovasi seperti jaringan media sosial, teknologi "tapeless" dan aplikasi iPhone.

Kurang dari 20 persen pekerja media yang telah disurvei merasa cukup dengan pelatihan teknologi digital yang diterimanya, sedangkan 54 persen mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan pelatihan. Lebih dari setengahnya belum tahu apakah mereka akan mendapatkan pelatihan tersebut nantinya dan sekitar 78 persen merasa kewajiban ada pada mereka untuk melatih diri sendiri.

Sementara hasil polling menunjukkan 3/4 responden memiliki keyakinan bahwa perusahaan mereka telah siap untuk menghadapi "digital future", hampir 2/3 responden berpikir bahwa televisi Inggris terlalu lamban dalam beradaptasi dengan teknologi baru.

Lebih dari 50 persen responden mengatakan bahwa industri televisi Inggris harus belajar dari industri gaming dan advertising dalam menghadapi tantangan seperti mendapatkan financial return dan mempekerjakan orang yang memiliki keterampilan digital.

Ada yang mengkritisi dengan menyebutkan "built-in Obsolescence", digitalisasi dibangun dalam kekunoan dan kurang perencanaan jangka panjang. Salah satu dari mereka bahkan ada yang menulis: "Para tradisionalis mencoba dengan keras berpegang erat kepada dunia lama, dan memelintirkan digital sehingga sesuai dengan model bisnis mereka yang hampir mati." (broadcastnow)

Read More ..

25 November 2009

Hamdan Zoelva: Siaran Sidang Pengadilan Dibatasi Jika Mengganggu Ketertiban Umum

Larangan menyiarkan secara langsung sidang-sidang pengadilan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi. Demikian disampaikan Praktisi Hukum, Hamdan Zoelva Kamis, (19/11).

“Hal ini bukan berkaitan dengan hak untuk mendapat informasi. Hal itu harus dibatasi jika mengganggu ketertiban umum. Saya setuju jika rapat kerja DPR disiarkan. Tapi apa semuanya? Tidak. Jika rapat itu dilakukan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan menyangkut rahasia negara maka hal itu harus tertutup. Bahaya jika dibuka pada publik. Nah begitu juga dengan sidang pengadilan. Jangan sampai hakim terpengaruh oleh opini publik. Opini publik bisa sesuai dengan teknis dan materi hukum bisa juga tidak. Kalau tidak, lalu hakim terpengaruh, akan rusak negara ini. Di Amerika, jangankan disiarkan langsung oleh televisi, mengambil gambar foto saja tidak boleh. Sidang pengadilan harus bebas dari tekanan publik,” kata Hamdan.

Menurut Hamdan, kebebasan mendapatkan informasi sudah disalahpahami dan sudah kebablasan. Alasanya, kebebasan mendapatkan atau tidak mendapatkan sesuatu harus dibatasi oleh Undang-Undang dan tidak ada kebebasan mutlak. (berbagai sumber)

Read More ..

20 November 2009

Berita Televisi Banyak Menyudutkan Perempuan

Pakar kriminolog Universitas Indonesia (UI) bidang kajian perempuan, Herlina Permata Sari, mengatakan, tayangan berita kriminal di televisi banyak menyudutkan kaum perempuan.

"Pemberitaan kriminal sangat menyudutkan citra perempuan," kata Herlina, dalam seminar "Perempuan dan Media dalam Kajian Kriminologis" di Kampus UI, Depok, Kamis (19/11).

Ia menilai semua tayangan televisi yang menampilkan obyek berita kaum perempuan masih tidak berimbang. Peran media yang terlalu memojokkan perempuan itu membuat perkara pidana semakin rumit.

Pendengar, pembaca, dan pemirsa program televisi menjadi tidak paham persoalannya. Seharusnya, dalam pemberitaan kriminal tidak perlu meminta keterangan dari korban perempuan secara langsung.

Informasi tentang korban dapat diperoleh dari pendamping atau keluarga korban. Ia mencontohkan korban kasus pemerkosaan yang diwawancarai.

Sedangkan seharusnya dia dilindungi dari citra buruk itu. "Seharusnya bisa didapat dari keluarga korban, bukan dari korban langsung," katanya.

Posisi perempuan dalam kasus pidana dapat berubah citranya menjadi pelaku dalam kasus itu. Padahal, secara nyata posisi korban sebagai individu yang teraniaya.

"Jadi seolah-olah dalam kasus tersebut perempuan yang menjadi korban yang memancing pemerkosaan," katanya.

Citra perempuan secara sosial selalu diidentikkan pada perilaku yang baik sehingga keterlibatan perempuan dalam perkara pidana menjadikan posisi perempuan itu semakin sulit.

Untuk itu, berita kriminal yang menempatkan perempuan sebagai korban perlu direvitalisasi makna beritanya. "Sangat penting media melakukan penataan kembali berita," katanya. (kompas.com)

Read More ..

16 November 2009

TPI Laporkan Hakim ke Komisi Yudisial

PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) melaporkan majelis hakim yang memutusnya pailit kepada Komisi Yudisial. Hakim dituding melanggar kode etik.

"Apakah majelis hakim tingkat pertama sudah menerapkan kode etik atau belum, itu yang dilaporkan," ujar kuasa hukum TPI Andi Simangunsong di Gedung Komisi Yudisial, Senin (16/11). Ia menduga saat memutus perkara, hakim melanggar kode etik.

Sayangnya, ia enggan merinci pengaduannya. Andi hanya mengatakan hari ini pihaknya menyerahkan dokumen kepada Komisi.

"Kami hanya ingin semua dapat merasakan keadilan terhadap putusan yang menyangkut TPI. Kami harap bila benar ada pelanggaran, (Komisi) bisa merekomendasikan Mahkamah Agung membatalkan putusan," tuturnya.

Komisioner Zainal Arifin menyatakan bakal memprioritaskan pembahasan laporan tersebut. "Karena ini menyangkut nasib sekitar seribu buruh TPI," ucapnya tanpa memasang target waktu penyelesaian kasus itu.

Menurut dia, Komisi akan mempelajari laporan, meneliti, lantas membahasnya dalam rapat pleno. Zainal berujar, "Kami akan lihat dari perilaku hakim, dalam kode etik dilarang membuat putusan yang keliru. Apakah nanti akan masuk dari sana atau bagaimana, ada rekomendasi ditindaklanjuti atau tidak, nanti diputuskan."

TPI diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 14 Oktober 2009. Keputusan itu diambil setelah muncul gugatan dari Crown Capital Global Limited sebagai salah satu kreditor yang memiliki piutang sebesar Rp 498,7 miliar.

Crown memiliki obligasi TPI senilai US$ 53 juta yang terbit Desember 1996, jatuh tempo pada Desember 2006, namun tak kunjung dibayar stasiun televisi yang tergabung dalam Grup Media Nusantara Citra itu.

Setelah TPI dinyatakan pailit, hingga pekan lalu 67 kreditor dengan total piutang Rp 1,2 triliun telah mengajukan tagihan piutang kepada kurator.

Tak terima dipailitkan, TPI telah mengajukan memori kasasi kepada Mahkamah Agung. Stasiun televisi swasta ini juga sudah melaporkan pemilik lamanya ke Kepolisian Daerah Metro Jakarta untuk kasus pidana.

Pemilik lama dituding menyebabkan adanya aliran dana dan neraca fiktif dalam laporan keuangan perusahaan periode 1998/1999 yang membuat TPI tertimpa utang. (tempointeraktif.com)

Read More ..

15 November 2009

Direksi TPI Bantah Penggunaan Dana Pailit

Direksi PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) membantah telah menggunakan harta pailit tanpa sepengetahuan tim kurator. Menurut pengakuan direksi, rekening TPI telah diblokir sehingga tidak mungkin bisa digunakan.

"Rekening TPI telah diblokir sesuai permintaan kurator. Jadi penggunaan dana pailit tidak mungkin dilakukan," ujar Kuasa Hukum TPI, Marx Adryan dalam keterangan persnya, Minggu (15/11/2009).

Pernyataan tersebut dilancarkan setelah tim kurator PT TPI William Eduard Daniel menuding adanya indikasi penggunaan harta pailit tanpa sepengetahuannya. Bahkan tak hanya itu, ia menduga perubahan dana pailit tersebut digunakan oleh direksi TPI.

Menurut Marx, justru pihaknya sebagai debitur yang seharusnya mempertanyakan perubahan harta pailit setelah pemblokiran rekening. Selain itu, kurator pun dinilai Marx bisa langsung minta penjelasan atau klarifikasi terhadap perubahan kepada debitur pailit (TPI).

Marx sendiri mengaku telah mengajukan surat permohonan kepada Hakim Pengawas untuk mengganti kurator tersebut karena dinilai kurator sudah tidak independen dan berpihak pada pemohon pailit.

Sebelumnya TPI telah diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 14 Oktober 2009 yang diajukan oleh sebuah perusahaan keuangan asing, Crown Capital Global Limited. Namun, pihak TPI menolak keputusan tersebut dan telah mengajukan memori kasasi ke MA. (Detik.com)

Read More ..

13 November 2009

KPI Bantah Akan Larang Siaran Langsung Sidang Pengadilan dan DPR

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa membantah pihaknya akan menerapkan pelarangan penayangan langsung persidangan di pengadilan oleh media massa. Hal itu disampaikannya saat dihubungi per telepon, Jumat (13/11).

Pelarangan penayangan langsung tersebut menurutnya masih dalam konteks rencana dan belum disahkan. Menurut Sasa, KPI saat ini tengah memproses finalisasi revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Penyiaran (P3SPS).

Pedoman itu menjadi panduan bagi seluruh media penyiaran, baik radio maupun televisi, soal apa yang boleh maupun tidak boleh diproduksi atau disiarkan. Revisi dan modifikasi P3SPS dilakukan setiap dua tahun untuk menyesuaikannya dengan perkembangan di masyarakat dan dunia penyiaran.

Namun Sasa juga membenarkan dalam rancangan revisi P3SPS kali ini di dalamnya mencantumkan ketentuan penayangan siaran langsung persidangan di pengadilan. Oleh karena siaran langsung itu terkait pemberitaan, maka KPI masih akan berkonsultasi dengan Dewan Pers lebih dahulu.

"Semangatnya tetap tidak akan ada pemberedelan atau pelarangan siaran. Kami hanya berencana membatasinya dalam bentuk siaran tunda, setidaknya 5-10 menit. Dengan begitu pihak editor punya waktu mengedit terlebih dahulu sebelum ditayangkan," ujar Sasa.

Lebih lanjut tambah Sasa, penayangan sidang kesaksian Rani sebenarnya sudah melanggar ketentuan UU Pokok Pers pasal 5 ayat (1), yang mewajibkan pers nasional memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, dan asas praduga tak bersalah.

Sementara itu terkait desakan dan keinginan Komisi I agar pelarangan juga diterapkan pada persidangan mereka di DPR, Sasa membenarkan hal itu telah disampaikan ke KPI ketika mereka diundang hadir dalam sidang dengar pendapat beberapa waktu lalu.

"Dalam sidang itu beberapa anggota Komisi I mengeluh kepada kami kalau mereka merasa didiskreditkan oleh media massa, terutama oleh penayangan langsung persidangan mereka sebelumnya. Kami sih mempersilakan saja sikap seperti itu namun kami tetap tidak mau mengacu pada kepentingan politik tertentu," ujar Sasa.

Menurut Sasa, boleh-boleh saja jika anggota DPR merasa gembira dengan peraturan yang mereka hasilkan atau bahkan sebaliknya. Namun dia tidak setuju jika kebijakan yang tengah KPI susun sekarang dikaitkan dengan keinginan anggota Komisi I tersebut. (Kompas)

Read More ..

12 November 2009

Anggota Komisi I: Izin Siar TPI Harus Dikembalikan ke KPI

Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Untuk mencegah berulangnya modus penutupan stasiun televisi dengan menggunakan alasan bisnis, izin penyiaran TPI harus dikembalikan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Berdasarkan UU Penyiaran No 32/2002 pasal 33, izin penyelenggaraan penyiaran berada di tangan KPI dan tidak bisa dipindahtangankan. Jika memori kasasi TPI atas pemailitannya ditolak, maka izin siar TPI harus segera diambil alih oleh KPI, dan bukan dipindahtangankan ke pemilik baru," ujar anggota Komisi I DPR Ramadhan Pohan dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (12/11/2009).

Ramadhan meyakini penutupan media karena pemailitan seharusnya tidak perlu terjadi. Menurutnya, khususnya untuk bisnis media, proses pengadilan pemailitan seharusnya mempertimbangkan fungsi kepemilikan publik atas siaran media.

Ramadhan berpendapat hilangnya media massa dapat diartikan sebagai hilangnya hak publik dalam mengakses informasi, pendidikan, dan hiburan. Jika kasus TPI ini tidak tertangani dengan baik, ia khawatir upaya pembreidelan media melalui cara ini dapat saja berulang di masa mendatang dan akan mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Selain itu, Ramadhan juga tetap memberikan dukungan penuh bagi para pekerja TPI untuk mendapatkan kepastian nasib mereka ke depan.

Sebagai informasi, TPI telah diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 14 Oktober 2009 yang diajukan oleh sebuah perusahaan keuangan asing, Crown Capital Global Limited. Namun, pihak TPI menolak keputusan tersebut dan telah mengajukan memori kasasi.(detik.com)

Read More ..

09 November 2009

Global TV Kena Tegur KPI

Global TV yang menempatkan diri sebagai TV-nya anak muda juga kena tegur. MTV Insomnia Ngajak Sahur yang ditayangkan Global TV mendapat Teguran karena banyak menampilkan pembicaraan berbau seks serta kata-kata kasar dan makian.

Beberapa pelanggaran dalam program ini adalah menampilkan adegan kekerasan dan pelecehan terhadap kelompok tertentu seperti pada episode 8 September terdapat adegan seorang kru banci dikerjai dengan berbagai cara, seperti ditoyor dan dilempar bola. Banyak menampilkan kata-kata kasar dan makian. Seperti “bego”, “dodol”, “lemot”, “monyet”, “babi”, “monyong” serta tidak menampilkan klasifikasi acara.

Untuk itu, program ini melanggar standar program siaran (SPS) KPI Pasal 11, 12, 13, dan 17. Perlu diketahui, beberapa waktu lalu program MTV Insomnia sudah mendapat teguran dan himbauan dari KPI. Untuk itu kami minta agar teguran ini benar-benar diperhatikan dan dipatuhi. Jika Global TV kembali melakukan pelanggaran maka sanksi yang lebih berat akan dijatuhkan sebagaimana dibenarkan oleh UU.

Read More ..

03 November 2009

Depkominfo Terbitkan Aturan Main TV Digital

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) rupanya sudah menerbitkan aturan terbaru tentang penyelenggaraan siaran televisi digital yang dinantikan pelaku usaha. Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar menjelaskan aturan berupa Peraturan Menteri Nomor 39/PER/M.KOMINFO/10/2009 tersebut mengatur tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran Televisi (TV) Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air).

"Aturan itu baru kerangka dasarnya saja, untuk bisa efektif segera diterbitkan peraturan-peraturan menteri yang lain," kata Basuki. Basuki menambahkan, sejumlah ketentuan pelaksana memang tidak tuntas disebutkan dalam aturan baru. Sebut saja mengenai perizinan, mekanisme penyelenggaraan tv digital dan sebagainya.

"Soal perizinan memang belum selesai diatur dalam Peraturan Menteri ini. Selain itu juga akan ada perubahan industri. Ada jasa yang disebut jasa multipleksing yang dulu kan tidak ada. Juga akan ada pola bisnis yang berbeda, paling tidak ada cerminan mengenai konvergensilah nanti. Kita tunggu respons dari pelaku usaha dulu untuk menerbitkan Peraturan Menteri pelaksananya," kata Basuki.

Menurut Basuki, instansinya terbiasa berdiskusi dengan pelaku usaha di sektor telekomunikasi setiap kali akan menerbitkan aturan baru. Sehingga, diharapkan tidak ada penolakan ketika aturan diterbitkan.

Sejumlah ketentuan penting dalam aturan yang diteken oleh Mohammad Nuh, Menteri Kominfo terdahulu pada 16 Oktober 2009 antara lain; disebutkan bahwa penyiaran tv digital bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan penyiaran; meningkatkan kualitas penerimaan program siaran televisi; memberikan lebih banyak pilihan program siaran kepada masyarakat; mendorong konvergensi layanan multimedia; dan menumbuhkan industri konten, perangkat lunak, dan perangkat keras yang terkait dengan penyiaran televisi digital. Di mana penyelenggara penyiaran televisi digital terdiri atas, penyelenggara program siaran yaitu stasiun tv swasta maupun TVRI dan penyelenggara infrastruktur.

Penyelenggaraan infrastruktur ini terbagi lagi menjadi penyelenggara multipleksing publik dan swasta. Serta ditambah satu lagi ketentuan mengenai penyediaan menara. Supeno Lembang, Direktur PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menilai pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah sebelum dapat mewujudkan digitalisasi tv tersebut. Terlebih aturan yang sudah diterbitkan belum secara detail memerinci tata cara penyelenggaraannya.

"Masih banyak yang perlu diatur. Mulai dari content provider, perizinan bagi lembaga penyiaran atau stasiun tv-nya itu sendiri. Kemudian harus ditentukan juga penyelenggara multipleksing nya. Lalu di mana saja diletakkan pemancarnya. Terakhir bagaimana mekanisme penyebaran set top box atau perangkat penerima siaran digital ke masyarakat," kata Supeno.

Meskipun mengakui bahwa proses digitalisasi tv ini masih membutuhkan waktu yang panjang, namun Supeno optimistis bahwa program ini sangat menguntungkan semua pihak. Dari sisi pemerintah, sisa frekuensi yang sudah tidak digunakan jika seluruh stasiun tv menggunakan sistem digital bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.

Kemudian, para stasiun tv juga bisa berhemat karena bisa membiayai infrastruktur penyiaran digital secara bersama-sama. Perusahaan infrastruktur yang menyediakan multipleksing, pemancar, dan set top box juga diuntungkan.

"Bagi pemirsa, mereka bisa menikmati gambar yang lebih jernih dan dapat menerima tayangan di kendaraan bergerak dengan kualitas gambar yang stabil," katanya.

Sayangnya, Supeno mengaku belum dapat menghitung berapa besar biaya investasi yang harus dikeluarkan enam stasiun tv anggotanya yaitu SCTV, ANTV, Metro TV, Trans Tv, Trans7, dan tvOne untuk dapat membangun jaringan infrastruktur tv digital.

"Karena sangat tergantung dari jangkauan pemancarnya. Pemerintah memang sudah membagi menjadi 15 wilayah untuk seluruh Indonesia. Tapi harus dipertegas dulu provinsi atau kota yang akan didahulukan yang mana saja," tambahnya. (Kompas)

Read More ..

02 November 2009

TV Lokal Jakarta Hanya Tampilkan Gaya Hidup Kelas Atas

Televisi lokal Jakarta tidak memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, sebaliknya dipandang asing oleh sebagian terbesar masyarakat karena hanya menampilkan gaya hidup kelas atas dan keglamoran.

Hal itu diungkapkan anggota Tim Panel Pemantau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pengamat media, Nina Mutmainah Armando, dalam media gathering di Jakarta, beberapa waktu lalu.

“Padahal kan masyarakat Jakarta sangat majemuk, dan sebagian besar tidak berada di strata atas kehidupan sosial masyarakat. Lalu dimana muatan budaya lokalnya kalau begitu?” kata dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia itu.

Pekerja TV seharusnya menyadari bahwa khalayak itu heterogen baik secara geodemografis maupun sosiopsikologis. Jadi tidak bisa tayangan TV dipukul rata.

Nina menengarai TV telah menjejali tayangan televisi tanpa budaya lokal sehingga akhirnya selera masyarakat dibentuk oleh stasiun TV pusat yang menyajikan tayangan tersebut.

“Orang-orang di balik layar TV lokal harus lebih bekerja keras untuk melakukan riset dan kreatif untuk mengemas sebuah program acara TV lokal untuk menarik penonton,” papar Nina.

Nina berpendapat tidak semua budaya yang ditampilkan televisi dibutuhkan oleh masyarakat, seperti tayangan Srimulat yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat Manado. Selain itu, belum dibentuknya KPI daerah (KPID) untuk wilayah DKI Jakarta karena masih di bawah naungan KPI pusat mengakibatkan kurangnya pengawasan KPI terhadap TV lokal Jakarta.

“Pernah salah satu TV lokal menampilkan adegan yang tidak patut disaksikan oleh anak-anak pada jam prime-time, yaitu pukul 19.30 WIB. Itu kan berbahaya,” katanya.

Saat ini, hampir seluruh daerah Indonesia memiliki setidaknya satu stasiun TV lokal. Untuk daerah Jawa misalnya, Jawa Barat merupakan daerah dengan TV lokal terbanyak yaitu 16 stasiun, Jawa Timur 15 stasiun, Jawa Tengah 10 stasiun, Yogyakarta 4 stasiun. Sementara Jakarta sebagai ibukota negara memiliki enam TV lokal.

Nina mengutarakan, tayangan TV harus ramah terhadap keluarga Indonesia dengan menampilkan keberagaman, memperbanyak unsur pendidikan dan informasi walaupun dikemas dalam bentuk hiburan, dan bertanggungjawab terhadap masyarakat karena berada di ranah publik.

“Juga tidak mengandung kekerasan atau melanggar norma kesopanan dan kesantunan, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban televisi,” tandas aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak ini. (Dari berbagai sumber)

Read More ..

01 November 2009

Durasi Relai TV Dibatasi Maksimal 90%

Salahsatu ketentuan dalam Peraturan Menteri No. 43 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi (Permen Jaringan) yang ditandatangani minggu lalu, durasi maksimal relai stasiun TV dibatasi paling banyak 90% dari seluruh waktu siaran per hari. Ketentuan ini tentunya mewajibkan stasiun TV yang bersiaran nasional untuk membangun sistem jaringan.


Saat ini, stasiun TV yang bersiaran nasional hanya memiliki stasiun relai di daerah-daerah yang mencakup wilayah siarannya. Stasiun relai hanya berfungsi merelai siaran yang berasal dari pusat siaran. Sehingga, 100% siarannya merupakan siaran yang berasal dari pusat. Permen Jaringan mensyaratkan stasiun TV untuk membentuk jaringan yang terdiri dari stasiun induk dan stasiun anggota untuk meneruskan siarannya ke daerah-daerah.

Hal ini merupakan implikasi dari ketentuan yang mewajibkan stasiun TV untuk menyiarkan siaran lokal minimal 10 % dari seluruh waktu siaran per hari di setiap stasiun anggota jaringan. Nantinya secara bertahap, berdasarkan kemampuan masing-masing daerah dan lembaga penyiaran keharusan memuat siaran lokal tersebut secara bertahap naik menjadi paling sedikit 50% dari seluruh waktu siaran per hari. Sedangkan mengenai kriteria dan definisi siaran lokal akan ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Read More ..