28 April 2008

Siapa Kandidat Calon Presiden RI Tahun 2009?

Siapa ya? Baru mikir kandidat calon lho, belum yang lolos jadi calon! Yang jelas kita dapat meramal para petinggi Partai Politik dan juga para petinggi pemimpin negeri ini dan orang-orang yang pernah jadi para pemimpin negeri ini, pasti berminat maju mencalonkan diri...

Tapi paling tidak, siapa-siapa saja yang sudah jelas pingin jadi calon Presiden bisa kita lihat di layar TV. Mereka buang duit buat pasang iklan di TV, pasti ada maunya.

Siapa saja mereka? Sampai akhir April ini, tercatat nama Prabowo, Wiranto dan Sutrisno Bachir. Tambahkan saja jika Anda melihat ada nama-nama lain... Thanks sebelumnya lho

Read More ..

27 April 2008

Kebangkitan Nasional 20 Mei di Layar Kaca

Seperti yang ditulis Kompas, dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008, stasiun televisi berlangganan Astro Awani akan menayangkan rangkaian film dokumenter, yang akan memotret sejarah kebangkitan nasional dengan melihat perkembangan seni musik dan komunitasnya. Film-film ini akan ditayangkan pada periode 12-25 Mei setiap pukul 19.30. Astro Awani bekerja sama dengan PT Karya SET Film pimpinan Garin Nugroho untuk memproduksi 10 episode film dokumenter yang dibagi dalam beberapa tema.
Menurut Pemimpin Redaksi Astro Awani Riza Primadi, film-film tersebut mengajak pemirsa memaknai momentum Kebangkitan Nasional melalui lagu-lagu populer yang memiliki dimensi politik, sosiologis, nasionalisme, dan sejarah.

Catatan Saya :
Orang luar susah payah cari muka agar diterima baik olah Masyarakat Indonesia, jangan-jangan ada orang dalam yang cengengesan sambil bilang, "Nah gitu dong, bikin acara yang gak ngetop, jadi kita bisa tetap bikin hiburan yang hebohhhh wakakakak". Padahal dia belum tahu seperti apa presentasi karya Garin, siapa tahu bisa jadi ngetop? Punya pikiran kok aneh!

Read More ..

26 April 2008

Apakah DPR Tidak Memahami UU Pers?

Perdebatan soal pengaturan pemberitaan Pemilu di Media Massa belum berakhir. Hari ini, 26 April 2008, Kompas menurunkan tulisan sbb. :

Dewan Pers menyesalkan pengaturan pemberitaan media massa dalam UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengaturan tersebut mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers. Dewan Pers sudah mengingatkan soal itu, tetapi DPR tak memahami dan tak mau memahami hal tersebut. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara di Jakarta, Jumat (25/4).

Sejak pembahasan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD atau UU Pemilu Legislatif itu, Dewan Pers sudah mengingatkan DPR bahwa pengaturan pemberitaan kampanye pemilu cukup mengacu kepada UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. ”Namun, DPR tak memahami dan tak mau memahami hal itu,” kata Leo. Hasilnya, pengaturan pemberitaan tetap ada dalam UU Pemilu Legislatif dan bertentangan dengan UU Pers. Para penyelenggara negara masih menggunakan paradigma Orde Baru terhadap pers. ”Pengaturan pemberitaan dan ancaman pencabutan izin penerbitan dalam UU Pemilu Legislatif ini mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers,” katanya.

Dalam Pasal 97 UU No 10/2008 disebutkan, Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.

Definisi ”adil dan berimbang” itu sangat interpretatif. Pers tidak dapat memberitakan semua partai politik dengan porsi sama. Dalam pemberitaan, pers tunduk pada nilai berita, seperti menarik atau tingkat manfaatnya bagi publik. ”Media massa harus independen dalam pemberitaan dengan mengacu kepada kaidah dan etika jurnalistik,” kata Leo.
Jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah dan etika jurnalistik, proses hukumnya harus mengacu kepada UU Pers, bukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau UU Pemilu Legislatif.

Pembredelan
Leo menegaskan, UU Pers tidak mengenal sanksi pencabutan izin penerbitan media cetak atau pembredelan seperti yang ada dalam Pasal 99 Ayat 1 UU Pemilu Legislatif. Sementara itu, UU Penyiaran memang mengatur tentang pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran, seperti dalam Pasal 55 Ayat 2 UU Penyiaran. Namun, sanksi bagi lembaga penyiaran ini berjenjang, mulai dari teguran, denda, pengurangan durasi siaran, tidak memperpanjang izin, hingga pencabutan izin penyiaran. ”Dewan Pers tidak punya kewajiban tunduk kepada UU Pemilu Legislatif. UU Pers secara tegas melarang pembredelan (pencabutan izin penerbitan),” katanya.
Leo meminta semua media massa untuk bersikap bebas dalam pemberitaan. Mereka tidak perlu takut atau terintimidasi dengan ancaman dalam UU Pemilu Legislatif selama bekerja sesuai kaidah dan etika jurnalistik.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, mengatakan, penghakiman (judgement) media massa dalam pemberitaannya terhadap kegiatan partai politik selama masa kampanye tidak pantas dilakukan. Media massa memiliki independensi mengenai hal itu. ”Pemberian kesempatan yang sama itu intinya pendidikan politik, termasuk kritik di dalamnya. Tetapi, nanti kita lihat aturannya sejauh mana. Kalau partai tidak punya kegiatan, ya, tentu tidak dimuat dan tidak perlu dapat tempat yang sama,” ujar Kalla di Makassar, Sulawesi Selatan.

Jika semua partai politik berkegiatan dan media massa—karena keterbatasannya—harus memilih untuk memberitakannya, pilihan itu pantas diberikan kepada yang baik. Itu, disebut Kalla, sebagai kepantasan media massa menilai dengan independensinya.

Sementara itu, KPU berencana tidak membuat aturan bagi media massa yang diwajibkan memuat pemberitaan dan iklan partai politik di masa kampanye. ”Hanya saja, KPU mengimbau agar media massa berimbang dalam memuat pemberitaan dan iklan parpol-parpol peserta Pemilu 2009,” kata anggota KPU, Sri Nuryanti. Anggota Pansus RUU Pemilu, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, DI Yogyakarta), menekankan, pihak media massa tetap yang paling berhak mengimplementasikan rumusan pemberitaan kampanye. ”Pihak media massa memang wajib memberikan kesempatan yang sama, tetapi jika aktivitas partai politik tidak menarik, tentu saja hak media massa untuk tidak menurunkannya,” katanya.

Di Palembang, belasan jurnalis media cetak dan elektronik menggelar aksi keprihatinan terhadap UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD, di Gedung DPRD Sumatera Selatan. Aksi tersebut diisi dengan pembacaan pernyataan keprihatinan mengenai UU yang dinilai mengekang kebebasan pekerjaan jurnalis dan media massa.

Catatan Saya :
Sama saja. Adil dan berimbang itu hanya untuk space iklan. Lain itu, tidak! Anggota DPR kan orang-orang Parpol, tentu saja mereka ingin diberitakan, walaupun kegiatannya tidak populer. Seperti sekarang ini. Mereka senang telah menjadi bahan pemberitaan di media massa.

Read More ..

25 April 2008

Apakah Berita Pemilu Mau di Atur?

Harian Kompas, Jum'at 25 April 2008 memuat berita dihalaman depan sebagai berikut : Media massa tidak mempunyai kewajiban memuat berita kampanye partai politik. Hal ini merupakan bagian dari kebebasan pers. Artinya, undang-undang yang meminta media massa memberikan kesempatan yang sama, baik berita maupun iklan, kepada semua parpol, selain sia-sia, juga tak masuk akal.

Demikian diungkapkan Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Palar Batubara serta Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Yudi Latif, Kamis (24/4), secara terpisah di Jakarta.

Pasal 91 Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 Ayat 3 UU itu menegaskan, media cetak dan penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
Pasal 97 UU No 10/2008 juga menyatakan, media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.

”Aturan semacam itu bukan saja tidak adil dalam era demokrasi, tetapi pembuat aturan juga tidak mengenal esensi dari media,” ujar Palar.
Ia menambahkan, ”Terlampau jauh UU Pemilu mencampuri kerja pers kalau ide untuk memberikan kesempatan yang sama itu diterjemahkan sebagai luasan milimeter di media cetak atau durasi di media elektronik.” Apalagi, menurut Palar, pemerintah tidak mempunyai alat yang bisa dipakai untuk mengukur kesempatan yang sama itu. Artinya, aturan semacam itu sia-sia saja. ”Media adalah bisnis yang harus tunduk pada mekanisme pasar. Media harus membuat berita yang dinilai menarik bagi pembacanya. Jadi, jika juru kampanye suatu partai tidak menarik atau tidak ada isu yang bisa menjual, bisa saja tidak dikutip,” ujarnya.
Yudi menambahkan, pers dalam bekerja memang harus tunduk kepada kode etik pers. Namun, tidak ada kewajiban bagi pers untuk harus memberitakan soal pemilu, apalagi ditambah kewajiban harus memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu.
”Jika itu sebatas imbauan moral agar media sebagai salah satu pilar demokrasi bisa mendorong kompetisi yang sehat, itu boleh saja. Tetapi, kewajiban memberikan pemberitaan yang sama, itu tak akan bisa,” ujarnya.

Tidak hanya mewajibkan, UU No 10/2008 juga menegaskan adanya sanksi bagi media massa yang melakukan pelanggaran. Pasal 99 UU itu menyebutkan, sanksi bisa berupa teguran tertulis; penghentian sementara acara yang bermasalah; pengurangan durasi pemberitaan atau iklan; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan untuk waktu tertentu; serta pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau izin penerbitan media massa cetak.

Jelaskan secara rinci
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Kamis, menuturkan, kebimbangan media massa terhadap sanksi karena tidak memberitakan kampanye secara adil dan seimbang tak perlu terjadi jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan secara rinci aturan kampanye dalam UU No 10/2008. ”Peraturan KPU harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan adil dan seimbang itu,” katanya.
Kejelasan aturan kampanye di media massa diperlukan karena meski UU No 10/2008 mengatur secara rinci, UU itu tidak mengaturnya secara tegas.
Dalam pembuatan peraturan, KPU pun harus memahami kewenangannya untuk mengatur pemberitaan dan iklan di media massa serta wilayah pasar dan kebebasan pers. Karena itu, KPU perlu berkoordinasi secara intensif dengan Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia tentang pembatasan wilayah itu. Ray juga menambahkan, peraturan KPU yang mengatur kampanye harus segera dibuat karena masa kampanye akan dimulai dua bulan lagi.

Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, Kamis, mengharapkan semua masalah yang terkait pemberitaan Pemilu 2009 di media cetak sebaiknya diselesaikan dengan UU No 40/1999 tentang Pers dan bukan UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebab, UU Pers dibuat untuk mengatur segala sesuatu yang terkait dengan pers. ”Dewan Pers akan menemui KPU untuk membahas masalah ini. Kami akan meminta UU Pers yang dipakai untuk menyelesaikan masalah pemberitaan saat pemilu,” ujarnya.

Menurut Abdullah, ketentuan tentang pemberitaan yang adil dan seimbang, seperti ditulis dalam UU No 10/2008, tidak dapat diartikan semua parpol harus mendapatkan liputan dalam jumlah dan ukuran yang sama besar di media massa. ”Adil dan seimbang harus dilihat dari segi nilai berita. Itu merupakan wewenang ruang redaksi. Redaksi dapat menyampaikan sebuah berita secara panjang jika memang dinilai punya nilai berita, demikian sebaliknya,” paparnya.

Pengertian ini perlu dipahami karena setiap parpol berikut tokohnya memiliki nilai berita berbeda. ”Jadi, harap diterima jika ada aktivitas parpol yang tak diberitakan karena dianggap tidak punya nilai berita. Ini karena, misalnya, parpol itu kurang memiliki pengaruh atau kegiatannya kurang bermanfaat bagi masyarakat luas,” papar Abdullah.

Jika ada parpol mengeluhkan pemberitaan di suatu media cetak, hal itu harus disampaikan kepada Dewan Pers. Dewan Pers yang akan menilai berita itu. Adapun keadilan dalam iklan, kata Abdullah, harus dimaknai bahwa media massa memberikan tarif yang sama kepada parpol untuk beriklan.

CATATAN SAYA :
Kita tidak perlu resah dulu dengan peraturan semacam itu. Kalau saya tangkap esensi peraturan itu adalah agar media cetak atau elektronik memberi keadilan dalam arti, adil untuk memberi tempat dan ruang serta tarif yang sama kepada semua parpol yang akan memasang iklan.
Media harus punya system yang jelas dan pengarsipan yang tertatur. Media harus membuat surat penawaran kepada seluruh parpol yang resmi ikut pemilu dengan tarif, ruang dan jenis presentasi yang sama. Jika ada parpol yang menolak memasang iklan karena tidak punya dana atau apa pun alasannya, mereka harus memberikan surat tertulis atau rekaman sebagai bukti penolakan untuk beriklan dimedia tersebut. Bukti itulah yang harus di arsipkan, jika ada pertanyaan mengapa parpol tertentu tidak tayang atau tidak beriklan di media tersebut.
Soal berita, itu memang hak eksklusif media itu sendiri. Itu yang tidak bisa diatur. Biarkan masyarakat menilai, apakah berita media itu condong atau anti terhadap parpol tertentu. Media yang terlalu kiri atau kanan, tentu punya masa depan yang terbatas.

Read More ..

15 April 2008

Cukup Empat Hari Bagi Astro, Segala Urusan Akhirnya Selesai

Dicabutnya frekuensi siaran televisi berlangganan Astro dari tgl. 11-14 April 2008, membuat sekitar 140.000 pelanggannya merugi. Frekuensi Astro sempat dicabut karena PT Direct Vision, pengelola Astro, dianggap pemerintah belum membayar hak penggunaan frekuensi dan belum mengajukan izin siaran radio angkasa. Astro juga dianggap belum memenuhi uji laik operasi. Namun, belakangan, Astro telah memenuhi semua kewajibannya.

Catatan Saya :
Itu adalah fakta yang terjadi dalam bisnis televisi berlangganan kita di Indonesia. Saya tidak habis pikir! Aneh, Lucu atau Apa? Bayangkan, hanya 4 hari dicabut dan segala urusan akhirnya bisa selesai, lalu Astro dapat kembali siaran. Sebagai orang awam, saya berpikir Astro pasti punya masalah yang sangat berat, sampe-sampe dihentikan siarannya. Eh, ternyata penyelesaiannya hanya butuh 4 hari?!!!! @%x!@#+&^%@!!! It's a Magic country!

Read More ..

09 April 2008

Kemana Arah Programming Televisi Kita?

Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) punya acara baru bernama "Karaokean Yuuk" disiarkan hari Senin-Jumat pukul 12.00-13.00 WIB, yang dipandu oleh Evan Naro.

Peserta "Karaokean Yuuk" tidak perlu memiliki kemampuan menyanyi yang bagus, karena yang dinilai adalah tingkah laku, penampilan, dan kelucuan peserta di atas panggung. Peserta yang paling lucu dan menghibur berpeluang menang.

Acara ini terdiri dari empat segmen. Segmen pertama, ada 125 orang yang tersebar di lantai pentas. Pemandu acara memilih secara acak para peserta karaoke. Caranya, pemandu akan mengetes mereka menyanyi. Mereka yang lulus akan dibentuk menjadi lima tim. Dari segmen ke segmen intinya adalah menyeleksi tim. Nah, di segmen terakhir, seorang kapten tim diminta menyanyikan potongan lagu dan menebak judul lagu tersebut. Jika dia tidak bisa menjawab, anggota timnya akan tercebur ke kolam.

CATATAN SAYA :
Televisi di Indonesia betul-betul kehabisan akal dalam mengeksplor kreatifitas program. Kebanyakan dari pekerja televisi, hanya bisa membuat acara sebatas hiburan yang dangkal. Hiburan yang hanya menghabiskan waktu masyarakat Indonesia "haha hehe" atau "nangis" atau "takut" di depan TV tanpa dapet 'pesan' apa pun.

Saya tidak anti "haha hehe" atau apapun itu, tetapi jumlah acara seperti terlalu banyak!
Indosiar mengabiskan airtime-nya dari jam 18.00 - 24.00 hanya untuk acara ngalor-ngidul gak karuan. TPI juga begitu. SCTV penuh dengan isak tangis dan akting pesinetron pemula.
Trans TV hanya muter film hollywood usang, RCTI masih asik memproduksi acara kontes nyanyi yang ujung-ujungnya menyedihkan bagi nasib pesertanya (baca: kisah selebriti gagal) dll dll... Mungkin hanya MetroTV yang masih agak mendingan... Ada yang bisa dipetik bagi masyarakat, entah informasi ataupun pencerahan.

Kemana arah programming televisi Indonesia?

Read More ..

01 April 2008

Dicekal di Darat, Bebas Di Udara?!

Dalam minggu-minggu ini heboh berita tentang pencekalan atau larangan Dewi Persik untuk tampil di daerah Tangerang dan juga Trio Macam di wilayah Bogor. Apa dasarnya? Pejabat setempat berpendapat cara-cara goyangnya dapat menimbulkan keresahan didalam rumah tangga dan lain sebagainya.

Setuju atau tidak, itu bukan bagian saya mengomentarinya. Saya hanya concern tentang banyaknya stasiun televisi yang menayangkan berita tersebut tanpa tedeng aling-aling.

Di layar TV, jelas-jelas diperlihatkan goyangan-goyangan yang 'dicekal' tersebut pada pagi siang atau sore hari. Saya sempat terpikir 'Lha ini TV gimana yah?'
Karena goyang-goyangan model itulah yang justru membuat Dewi Persik dicekal, tapi di layar televisi yang bebas ditonton publik, malah digambarkan dengan jelas!

Anak-anak kita jadi tahu model goyangan yang dicekal itu kan? Bukankah seharusnya itu disamakan seperti gambar porno? Yang boleh diberitakan, tetapi gambarnya dibuat blur?!

Read More ..