Karena power transmitter ada batasnya, maka siaran televisi apa pun sebetulnya lokal semua. Sebutan TV "nasional" hanya karena izin stasiun televisi tersebut diperbolehkan mendirikan stasiun relay diberbagai daerah. Semua televisi "nasional" itu kini berpusat di Jakarta (sebelumnya ada SCTV yang awalnya di Surabaya dan ANTV di Lampung).
Jika televisi nasional tersebut tidak memiliki stasiun relay diberbagai daerah, maka televisi itu sama dengan televisi lokal Jakarta. Jika coverage siaran televisi itu hanya Jakarta dan sekitarnya, sudah barang tentu harga iklan per-spot-nya jauh lebih murah dari tarif yang sekarang. Pasti kantor dan studio mereka juga akan jauh, jauh dan jauh lebih sederhana.
Hanya karena berizin nasional, maka investasi mereka pun beratus-ratus milyar rupiah.
Bagaimana dengan Stasiun Televisi Lokal?
Saya pernah melintas didepan studio Jak-TV di SCBD, Jakarta. Pernah mendengar juga studio O'Channel di Sarinah Thamrin dan ElshintaTV di Wisma Indosemen, Sudirman. Itu daerah perkantoran yang mahal. Tapi mengapa mereka berani berinvestasi semahal itu? Padahal, dari sisi pendapatan, pasti televisi lokal akan sangat jauh dibandingkan dengan televisi nasional.
Lalu, bagaimana dengan televisi lokal diluar Jakarta? Itu yang saya ingin dengar dari Anda di sini..
31 Januari 2008
Apa Kabar TV Lokal di Luar Jakarta?
28 Januari 2008
Menonton "Kepulangan" Pak Harto di Layar TV
Jendral Besar H.M. Soeharto atau Pak Harto, berpulang pada hari Minggu, 27 Januari 2008 pada pukul 13.10 di RSPP, Jakarta. Radio dan Televisi serentak menyiarkan tajuk BREAKING NEWS. Waktu dan durasi tayangan Breaking News dari masing-masing media (Radio & TV) berbeda-beda. Metro TV menyiarkan program dengan nama "Selamat Jalan Pak Harto". Untuk TV swasta, hanya Metro TV-lah yang mengudarakan breaking news terus menerus tanpa henti hingga keesokan harinya. TVRI malah lebih leluasa, karena mendapatkan hak eksklusif dalam meliput jenazah alm. Pak Harto di kediaman jalan Cendana. Beberapa TV swasta lain tidak kontinyu. Kebanyakan mereka masih siaran dengan program regulernya. Tapi pada saat pemakaman dari Astana Giribangun, semua layar televisi menayangkan upacara militer yang di pimpin oleh Presiden SBY. Televisi yang punya OB Van nampak masing-masing punya angle gambar sendiri-sendiri, tapi yang tidak menyiapkan dari lokasi pemakaman, cukup merelay TVRI. Masyarakat riuh dimana-mana memandang upacara pemakaman tersebut. Di Cafe, Retoran, Rumah Sakit, Hotel dan lain-lain banyak orang ingin tahu seperti apa upacara tersebut.
Menurut saya, wajar-wajar saja semua stasiun TV menyiarkan "kepulangan" Pak Harto yang status hukumnya masih kontroversial itu. Bagaimana menurut Anda? Apakah berlebihan?
Kisah Memperjuangkan Program Berita di Layar Televisi Indonesia
Tulisan yang menarik dan perlu untuk diketahui bagi kita semua dari Peter F. Gontha. Kisah yang menunjukan sebuah pergulatan yang tidak kenal lelah dalam memperjuangkan program berita dilayar televisi pada zaman adanya Deppen. Saya kutip langsung dari link Gontha.com
Thanks to Mr. Gontha.
26 Januari 2008
Usulan Untuk TV Berjaringan
Saya tidak akan memperdebatkan soal diundurnya peraturan TV Berjaringan yang diundur dua tahun lagi itu. Saya lebih terfokus pada model atau bentuk jaringannya.
Apa yang saya maksud berjaringan disini mungkin beda dengan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah.
Usulan jaringan ini saya sebut sebagai jaringan yang sesungguhnya (The Real Network), yaitu jaringan yang berbasis pada Content. Ini jauh lebih efektif dan menguntungkan bagi TV lokal maupun TV nasional. Misalnya Indosiar, kan punya banyak acara-acara yang 'timeless', seperti wayang kulit, wayang golek dan srimulat, atau RCTI punya Sitkom "OB", SCTV punya acara musik "By Request" dan lain sebagainya, yang sangat mungkin untuk diputar ulang di TV lokal. Sedangkan acara-acara seperti berita dan lainnya yang bersifat 'current', dapat direlay langsung atau delay dalam beberapa menit kemudian. Satu TV lokal dapat memilih untuk berjaringan dengan satu atau dua TV nasional, tergantung regulasinya. Di Amerika saja, saya lihat banyak TV lokal yang menyantumkan logo TV nasional sebagai bagian dari jaringannya.
Dengan demikian, TV lokal akan mendapatkan program tambahan dan TV nasional dapat memperkuat brand-nya. Kerjasama jaringan ini juga dapat dikembangkan dalam hal supervisi teknis, supervisi manajemen penyiaran, supervisi produksi dan lain-lain yang diperlukan oleh TV lokal. Begitu juga dalam peliputan berita, TV lokal dapat memberikan liputan peristiwa didaerahnya kepada TV nasional. Soal deal bisnis atau aspek keuangannya, terserah kesepakatan kedua belah pihak. Yang jelas, TV Berjaringan yang saya maksud ini bukan dalam arti membeli saham atau mendirikan stasiun TV lokal sendiri.
Semoga usulan saya ini dapat dipertimbangkan untuk mencari jalan alternatif lain dalam mengimplementasikan Televisi Berjaringan, karena kita ingin semua bisa happy. Pengelola TV Nasional dan TV Lokal happy. Pemda happy. Masyarakat happy. Pemasang iklan happy. Terima kasih atas perhatiannya.
Super Mama dan Mamamia Mengeksploitasi Figur Ibu?
Ibu adalah orang tua kita, yang kita hormati, kita junjung tinggi dan kita sayangi. Selayaknya kita menghargai Ibu, memberikan kesenangan kala kita sudah mampu secara fisik dan materi.
Lain halnya di acara Super Mama dan Mammamia, sang Ibu harus ikut berdiri dipanggung dan dikomentasi ini itu oleh Komentator. Kadang dibilang gendut, rambutnya jelek, make up ketebalan, bajunya kurang pas dan lain sebagainya.
Saya pikir, cukuplah sudah acara ini mengeksploitasi kekurangan sang Ibu yang sedang turut mendukung putra-putrinya. Hindari kesan mengejek dan mengolok sang Ibu dilayar televisi. Acara tersebut dapat terus menghibur pemirsa Indosiar tanpa harus sang Ibu dari para peserta dikomentari ini itu oleh Komentator. Sang Ibu tetap dapat ikut mendukung putra putrinya berlomba, tapi tempatkan dia diposisi yang terhormat, tanpa komentar yang bisa menyakitkan bagi sang Ibu.
Semoga Indosiar dapat mengerti dan memahami betapa pentingnya menempatkan posisi sang Ibu ditempat yang terhormat!
25 Januari 2008
Perlukah Siaran TV Berjaringan Ditunda?
Di harian Kompas hari ini (25/01/2008), Agus Sudibyo menulis tentang Penundaan Siaran TV Berjaringan. Saya sudah membaca berbagai opini tentang hal tersebut di milis dan blog serta media lainnya. Terus terang, saya awam soal itu. Jadi, saya tidak peduli. Tapi saya merenung sejenak, lalu timbul pemikiran, untuk apa sebetulnya aturan itu? Soalnya, kalau saya perhatikan, masalah ini akan membuat semua pihak "Maju Kena, Mundur Kena". Siapa yang kena dan apanya yang kena? Sorry aja kalau saya jawab, "Perutnya yang kena". Perut siapa? Tentu saja perut semua orang-orang yang merasa berkepentingan untuk mengatur dan yang diatur. Can you imagine it?! Jadi, itu semua soal perut, soal peluang dan kemumpungan manusia. Itu yang saya khawatirkan. Semoga saya salah!
Dalam bayangan saya, bila pengelola TV dipakasa berinvestasi ini itu lagi, otomatis biaya mereka meningkat, keuntungan menipis, atau bahkan koleps. Perusahaan yang koleps akan dibeli oleh yang sangat mampu, grup besar yang bermodal kuat. Biasanya, visi misi konglomerat adalah murni bisnis. Setelah dibeli, stasiun TV itu dipoles lagi dengan suntikan dana segar. Total jendral, ongkosnya pun menjadi besar pula. Bagaimana cara mereka menghitung ROI? Jawabannya adalah IKLAN. Mereka akan menaikan harga iklan. Jika harga iklan naik, tentu akan berimbas dengan naiknya harga produksi barang-barang yang diiklankan. Sudah dapat dipastikan, harga jual barang dagangan juga akan dinaikan. Siapa yang mau rugi? Pengusaha/produsen tidak akan mau. Maka sudah sangat jelas, yang menanggung itu semua adalah masyarakat atau rakyat Indonesia.
Mereka harus membeli barang (mie, obat, odol, semen, rumah, dll. yang beriklan di televisi) yang tadinya Rp. 500 menjadi Rp. 600,-. Yang tadinya Rp. 10.000,- kini menjadi Rp. 12.500,- dan seterusnya. Tidak terasa kan? Sementara itu, diluar barang-barang yang beriklan di TV, seperti minyak tanah, masih diantri. Tempe dan Tahu makin mahal. Beras, tepung, jagung, telur, dll. harganya semakin melonjak. Belum lagi biaya pendidikan, transportasi, tempat tinggal, dll. Bayangkan! Siapa yang akan semakin sulit? Yang miskin akan semakin miskin. Dimana hati nurani?
Bila perlu, ketentuan siaran bersama TV berjaringan tidak usah ditunda, tapi lebih baik tidak usah diberlakukan. TV nasional, lebih produktif bila berjaringan dengan TV Lokal yang sudah menjamur. Biar mereka berjaringan atau bersindikasi program dan marketing saja. Bangkitkan potensi iklan di daerah secara maksimal. TV nasional tidak perlu lagi berinvestasi untuk siaran berjaringan yang nantinya hanya akan jadi "yang penting ada siaran lokalnya". TV nasioanl juga tidak perlu melakukan pembelian saham pada statiun TV lokal dalam berjaringan. Biarkan orang-orang daerah belajar mengelola televisi sendiri yang milik mereka sendiri. Support saja mereka untuk maju secara positif. Itu baru berjaringan yang sebenarnya.
So, bagi saya, aturan industri televisi atau aturan industri apapun tetap perlu dan wajib ada, tapi harus berpihak pada kebaikan. Jangan mencari keuntungan yang hanya akan makin menyengsarakan rakyat. Orang bilang, "Goodman, speaks well", semoga tidak hanya speak, tetapi juga "Think Well and Act Well".
Salam,
Moderator, Dunia TV
Sapaan Kepada Penonton di Liputan 6 SCTV
Pada acara Liputan 6 di SCTV, sang presenter berita selalu menyapa penonton televisi dengan sebutan "Saudara", bukan "Pemirsa". Pendapat pribadi saya mengatakan, sapaan itu tidak dapat dibenarkan, karena kata "Saudara" ada pasangnnya, yaitu "Saudari". Maka, setiap mendengar sapaan "Saudara", saya terbayang hanya untuk pemirsa laki-laki. Tapi terlalu panjang jika sapaannya mau dilengkapi menjadi "Saudara Saudari...". Menurut saya, pakai saja sapaan "Pemirsa", seperti Radio Elshinta menyebut audience-nya dengan sapaan "Pendengar". Karena, pendengar atau pemirsa, bisa siapa saja, tua muda atau laki-laki perempuan.
Salam,
Moderator