25 Januari 2008

Perlukah Siaran TV Berjaringan Ditunda?

Di harian Kompas hari ini (25/01/2008), Agus Sudibyo menulis tentang Penundaan Siaran TV Berjaringan. Saya sudah membaca berbagai opini tentang hal tersebut di milis dan blog serta media lainnya. Terus terang, saya awam soal itu. Jadi, saya tidak peduli. Tapi saya merenung sejenak, lalu timbul pemikiran, untuk apa sebetulnya aturan itu? Soalnya, kalau saya perhatikan, masalah ini akan membuat semua pihak "Maju Kena, Mundur Kena". Siapa yang kena dan apanya yang kena? Sorry aja kalau saya jawab, "Perutnya yang kena". Perut siapa? Tentu saja perut semua orang-orang yang merasa berkepentingan untuk mengatur dan yang diatur. Can you imagine it?! Jadi, itu semua soal perut, soal peluang dan kemumpungan manusia. Itu yang saya khawatirkan. Semoga saya salah!

Dalam bayangan saya, bila pengelola TV dipakasa berinvestasi ini itu lagi, otomatis biaya mereka meningkat, keuntungan menipis, atau bahkan koleps. Perusahaan yang koleps akan dibeli oleh yang sangat mampu, grup besar yang bermodal kuat. Biasanya, visi misi konglomerat adalah murni bisnis. Setelah dibeli, stasiun TV itu dipoles lagi dengan suntikan dana segar. Total jendral, ongkosnya pun menjadi besar pula. Bagaimana cara mereka menghitung ROI? Jawabannya adalah IKLAN. Mereka akan menaikan harga iklan. Jika harga iklan naik, tentu akan berimbas dengan naiknya harga produksi barang-barang yang diiklankan. Sudah dapat dipastikan, harga jual barang dagangan juga akan dinaikan. Siapa yang mau rugi? Pengusaha/produsen tidak akan mau. Maka sudah sangat jelas, yang menanggung itu semua adalah masyarakat atau rakyat Indonesia.

Mereka harus membeli barang (mie, obat, odol, semen, rumah, dll. yang beriklan di televisi) yang tadinya Rp. 500 menjadi Rp. 600,-. Yang tadinya Rp. 10.000,- kini menjadi Rp. 12.500,- dan seterusnya. Tidak terasa kan? Sementara itu, diluar barang-barang yang beriklan di TV, seperti minyak tanah, masih diantri. Tempe dan Tahu makin mahal. Beras, tepung, jagung, telur, dll. harganya semakin melonjak. Belum lagi biaya pendidikan, transportasi, tempat tinggal, dll. Bayangkan! Siapa yang akan semakin sulit? Yang miskin akan semakin miskin. Dimana hati nurani?

Bila perlu, ketentuan siaran bersama TV berjaringan tidak usah ditunda, tapi lebih baik tidak usah diberlakukan. TV nasional, lebih produktif bila berjaringan dengan TV Lokal yang sudah menjamur. Biar mereka berjaringan atau bersindikasi program dan marketing saja. Bangkitkan potensi iklan di daerah secara maksimal. TV nasional tidak perlu lagi berinvestasi untuk siaran berjaringan yang nantinya hanya akan jadi "yang penting ada siaran lokalnya". TV nasioanl juga tidak perlu melakukan pembelian saham pada statiun TV lokal dalam berjaringan. Biarkan orang-orang daerah belajar mengelola televisi sendiri yang milik mereka sendiri. Support saja mereka untuk maju secara positif. Itu baru berjaringan yang sebenarnya.

So, bagi saya, aturan industri televisi atau aturan industri apapun tetap perlu dan wajib ada, tapi harus berpihak pada kebaikan. Jangan mencari keuntungan yang hanya akan makin menyengsarakan rakyat. Orang bilang, "Goodman, speaks well", semoga tidak hanya speak, tetapi juga "Think Well and Act Well".

Salam,
Moderator, Dunia TV

Tidak ada komentar: