Perdebatan soal pengaturan pemberitaan Pemilu di Media Massa belum berakhir. Hari ini, 26 April 2008, Kompas menurunkan tulisan sbb. :
Dewan Pers menyesalkan pengaturan pemberitaan media massa dalam UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengaturan tersebut mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers. Dewan Pers sudah mengingatkan soal itu, tetapi DPR tak memahami dan tak mau memahami hal tersebut. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara di Jakarta, Jumat (25/4).
Sejak pembahasan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD atau UU Pemilu Legislatif itu, Dewan Pers sudah mengingatkan DPR bahwa pengaturan pemberitaan kampanye pemilu cukup mengacu kepada UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. ”Namun, DPR tak memahami dan tak mau memahami hal itu,” kata Leo. Hasilnya, pengaturan pemberitaan tetap ada dalam UU Pemilu Legislatif dan bertentangan dengan UU Pers. Para penyelenggara negara masih menggunakan paradigma Orde Baru terhadap pers. ”Pengaturan pemberitaan dan ancaman pencabutan izin penerbitan dalam UU Pemilu Legislatif ini mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers,” katanya.
Dalam Pasal 97 UU No 10/2008 disebutkan, Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi Peserta Pemilu.
Definisi ”adil dan berimbang” itu sangat interpretatif. Pers tidak dapat memberitakan semua partai politik dengan porsi sama. Dalam pemberitaan, pers tunduk pada nilai berita, seperti menarik atau tingkat manfaatnya bagi publik. ”Media massa harus independen dalam pemberitaan dengan mengacu kepada kaidah dan etika jurnalistik,” kata Leo.
Jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah dan etika jurnalistik, proses hukumnya harus mengacu kepada UU Pers, bukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau UU Pemilu Legislatif.
Pembredelan
Leo menegaskan, UU Pers tidak mengenal sanksi pencabutan izin penerbitan media cetak atau pembredelan seperti yang ada dalam Pasal 99 Ayat 1 UU Pemilu Legislatif. Sementara itu, UU Penyiaran memang mengatur tentang pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran, seperti dalam Pasal 55 Ayat 2 UU Penyiaran. Namun, sanksi bagi lembaga penyiaran ini berjenjang, mulai dari teguran, denda, pengurangan durasi siaran, tidak memperpanjang izin, hingga pencabutan izin penyiaran. ”Dewan Pers tidak punya kewajiban tunduk kepada UU Pemilu Legislatif. UU Pers secara tegas melarang pembredelan (pencabutan izin penerbitan),” katanya.
Leo meminta semua media massa untuk bersikap bebas dalam pemberitaan. Mereka tidak perlu takut atau terintimidasi dengan ancaman dalam UU Pemilu Legislatif selama bekerja sesuai kaidah dan etika jurnalistik.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya, mengatakan, penghakiman (judgement) media massa dalam pemberitaannya terhadap kegiatan partai politik selama masa kampanye tidak pantas dilakukan. Media massa memiliki independensi mengenai hal itu. ”Pemberian kesempatan yang sama itu intinya pendidikan politik, termasuk kritik di dalamnya. Tetapi, nanti kita lihat aturannya sejauh mana. Kalau partai tidak punya kegiatan, ya, tentu tidak dimuat dan tidak perlu dapat tempat yang sama,” ujar Kalla di Makassar, Sulawesi Selatan.
Jika semua partai politik berkegiatan dan media massa—karena keterbatasannya—harus memilih untuk memberitakannya, pilihan itu pantas diberikan kepada yang baik. Itu, disebut Kalla, sebagai kepantasan media massa menilai dengan independensinya.
Sementara itu, KPU berencana tidak membuat aturan bagi media massa yang diwajibkan memuat pemberitaan dan iklan partai politik di masa kampanye. ”Hanya saja, KPU mengimbau agar media massa berimbang dalam memuat pemberitaan dan iklan parpol-parpol peserta Pemilu 2009,” kata anggota KPU, Sri Nuryanti. Anggota Pansus RUU Pemilu, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, DI Yogyakarta), menekankan, pihak media massa tetap yang paling berhak mengimplementasikan rumusan pemberitaan kampanye. ”Pihak media massa memang wajib memberikan kesempatan yang sama, tetapi jika aktivitas partai politik tidak menarik, tentu saja hak media massa untuk tidak menurunkannya,” katanya.
Di Palembang, belasan jurnalis media cetak dan elektronik menggelar aksi keprihatinan terhadap UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD, di Gedung DPRD Sumatera Selatan. Aksi tersebut diisi dengan pembacaan pernyataan keprihatinan mengenai UU yang dinilai mengekang kebebasan pekerjaan jurnalis dan media massa.
Catatan Saya :
Sama saja. Adil dan berimbang itu hanya untuk space iklan. Lain itu, tidak! Anggota DPR kan orang-orang Parpol, tentu saja mereka ingin diberitakan, walaupun kegiatannya tidak populer. Seperti sekarang ini. Mereka senang telah menjadi bahan pemberitaan di media massa.
26 April 2008
Apakah DPR Tidak Memahami UU Pers?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Gak usah ngandelin orang dPR lagi, mereka adalah jatah politik aja kok
Posting Komentar