02 November 2009

TV Lokal Jakarta Hanya Tampilkan Gaya Hidup Kelas Atas

Televisi lokal Jakarta tidak memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, sebaliknya dipandang asing oleh sebagian terbesar masyarakat karena hanya menampilkan gaya hidup kelas atas dan keglamoran.

Hal itu diungkapkan anggota Tim Panel Pemantau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pengamat media, Nina Mutmainah Armando, dalam media gathering di Jakarta, beberapa waktu lalu.

“Padahal kan masyarakat Jakarta sangat majemuk, dan sebagian besar tidak berada di strata atas kehidupan sosial masyarakat. Lalu dimana muatan budaya lokalnya kalau begitu?” kata dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia itu.

Pekerja TV seharusnya menyadari bahwa khalayak itu heterogen baik secara geodemografis maupun sosiopsikologis. Jadi tidak bisa tayangan TV dipukul rata.

Nina menengarai TV telah menjejali tayangan televisi tanpa budaya lokal sehingga akhirnya selera masyarakat dibentuk oleh stasiun TV pusat yang menyajikan tayangan tersebut.

“Orang-orang di balik layar TV lokal harus lebih bekerja keras untuk melakukan riset dan kreatif untuk mengemas sebuah program acara TV lokal untuk menarik penonton,” papar Nina.

Nina berpendapat tidak semua budaya yang ditampilkan televisi dibutuhkan oleh masyarakat, seperti tayangan Srimulat yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat Manado. Selain itu, belum dibentuknya KPI daerah (KPID) untuk wilayah DKI Jakarta karena masih di bawah naungan KPI pusat mengakibatkan kurangnya pengawasan KPI terhadap TV lokal Jakarta.

“Pernah salah satu TV lokal menampilkan adegan yang tidak patut disaksikan oleh anak-anak pada jam prime-time, yaitu pukul 19.30 WIB. Itu kan berbahaya,” katanya.

Saat ini, hampir seluruh daerah Indonesia memiliki setidaknya satu stasiun TV lokal. Untuk daerah Jawa misalnya, Jawa Barat merupakan daerah dengan TV lokal terbanyak yaitu 16 stasiun, Jawa Timur 15 stasiun, Jawa Tengah 10 stasiun, Yogyakarta 4 stasiun. Sementara Jakarta sebagai ibukota negara memiliki enam TV lokal.

Nina mengutarakan, tayangan TV harus ramah terhadap keluarga Indonesia dengan menampilkan keberagaman, memperbanyak unsur pendidikan dan informasi walaupun dikemas dalam bentuk hiburan, dan bertanggungjawab terhadap masyarakat karena berada di ranah publik.

“Juga tidak mengandung kekerasan atau melanggar norma kesopanan dan kesantunan, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban televisi,” tandas aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak ini. (Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: