19 Februari 2010

Pro-Kontra Revisi UU Penyiaran

Agenda Komisi I DPR RI merevisi UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran tidak purnama diterima dan disetujui. Sejumlah pihak, kebanyakan dari aliansi masyarakat dan akademisi, menyatakan tidak setuju atas rencana revisi UU tersebut. Mereka menilai, UU Penyiaran yang ada sekarang ini, sudah sempurna dan dianggap sebagai UU yang terbaik serta pro-publik.

Salah satu anggota Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), Chelsea Chan menegaskan, dirinya tidak setuju terkait rencana revisi UU Penyiaran. Menurutnya, UU ini banyak menampung inspirasi publik dan mengadobsi berbagai aturan-aturan yang dibuat bangsa luar. “Saya berpandangan kalau UU Penyiaran yang ada sekarang ini, merupakan the best-nya dari UU yang ada. Jadi, tidak perlu UU ini dirubah,” katanya di depan peserta seminar bertema “Sewindu UU Penyiaran”.

Sebaliknya, kata Chelsea, yang sangat penting direvisi atau dirubah adalah Peraturan Pemerintah (PP) aturan dari turunan UU Penyiaran. Pasalnya, isi dari peraturan penyiaran yang dibuat pemerintah cq Kementrian Kominfo dianggap paling banyak bermasalah.

Ade Armando, pengamat media dan juga anggota MAKSI, mengutarakan pendapat senada dengan Chelsea. Menurutnya, UU Penyiaran tidak bermasalah. Justru, yang bermasalah itu adalah PP-nya. “Masalah penyiaran di Indonesia soal penyiaran ada di peraturan pemerintah. Jadi, tidak perlu UU-nya direvisi,” tegasnya ditempat yang sama.

Ketika mengungkap pendapatnya, Ade yang terkenal kritis ini, mengungkapkan kegusarannya mengenai siapa yang sebenarnya mendorong rencana revisi UU Penyiaran tahun 2002. Menurutnya, jika rencana itu di dorong oleh satu atau dua pihak, tentunya hal itu berkaitan dengan kepentingan tertentu.

Komentar ketidaksetujuan rencana revisi UU Penyiaran juga diungkapkan sejumlah peserta seminar. Mereka beranggapan, UU Penyiaran sekarang sudah baik dan justru masih perlu dilaksanakan secara penuh. Alasannya, masih terdapat pasal-pasal di dalam UU ini yang belum disentuh. “Misalnya, pasal yang berhubungan dengan iklan yang mestinya sebelum tayang itu harus mendapatkan persetujuan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),” ungkap mereka.

Meskipun Chelsea, Ade Armando, dan juga sejumlah peserta tersebut menolak rencana revisi, rencana revisi UU Penyiaran sudah menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2010-2014. Menurut mereka, yang paling penting dilakukan adalah mengawal jalannya proses revisi.

“Kalau memang direvisi, kita minta agar arah revisinya tidak mengarah ke satu tempat saja. Kita minta arah revisi tersebut ke semua arah, ke semua wilayah Indonesia. Revisi UU Penyiaran hasilnya harus untuk publik. Jadi, apapun yang terjadi harus memperhatikan rakyat,” kata Chelsea berapi-api.

Sementara itu, pada kesempatan yanga sama, anggota KPI Pusat, Mochamad Riyanto meminta agar rencana revisi UU Penyiaran harus disikapi secara hati-hati. Soal legitimasi kewenangan, jangan sampai ada tumpang tindih lagi. “Mana-mana yang menjadi kewenangan KPI, mana pemerintah harus jelas. Jadi, kita harus mengawalnya proses revisi ini,” katanya.

Sayangnya, dalam seminar ini, tidak ada perwakilan Pemerintah cq Kominfo yang bisa memberikan penjelasan terkait rencana revisi UU Penyiaran. Sementara itu, perwakilan dari DPR RI diwakili anggotanya, Ramadhan Pohan. Kehadiran anggota Komisi I DPR RI ini, meskipun tidak lama, dimanfaatkan Chelsea untuk mengutarakan ketidaksetujuannya terkait revisi UU Penyiaran. (KPI)

1 komentar:

manadoparabola mengatakan...

Undang- Undang Penyiaran kayaknya perlu di injau lagi, masakkan pengurusan ijin TV Kabel kayak ngurus ijin mendirikan stasiun TV ...



salam,
http://manado-parabola.blogspot.com