09 Maret 2010

Radio dan Televisi Dilarang Siaran Saat Nyepi

Seperti tahun sebelumnya, stasiun televisi dan radio diminta untuk tidak menyiarkan programnya di seluruh wilayah Bali selama 24 jam saat berlangsung Hari Suci Nyepi, Selasa (16/3) mulai pukul 06.00 Wita.

Surat usulan yang tengah dipersiapkan dengan dukungan rekomendasi sejumlah pihak itu, akan disampaikan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika, kata Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya di Renon, Denpasar, Senin.

Dijelaskan, surat rekomendasi direncanakan ditandatangani sejumlah pihak, yakni Ketua DPRD Provinsi Bali, Gubernur Made Mangku Pastika dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali.

Menurut Made Arjaya, surat rekomendasi larangan siaran di Pulau Dewata selama 24 jam tersebut direncanakan dibuat saat rapat bersama jajaran KPID Bali dan tokoh masyarakat setempat, Selasa (9/3).

Format surat rekomendasi pelarangan siaran di Bali saat berlangsung "Tapa Brata Penyepian", akan dibuat secara detail, menjelaskan larangan siaran pada 16 Maret mulai pukul 06.00 hingga 17 Maret 2010 pukul 06.00 Wita atau selama 24 jam.

"Setelah surat itu ditandatangani sejumlah pihak, selain kita kirimkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga ke stasiun televisi dan radio," ucapnya.

Larangan kepada stasiun televisi dan radio menyiarkan programnya di Bali saat Nyepi, pernah diterapkan Nyepi beberapa tahun lalu, namun belakangan stasiun televisi maupun radio kembali terus menyiarkan program-programnya.

Sementara Ketua Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) Bali Drs Ida Bagus Gede Wiyana menyatakan, bagi umat Hindu perayaan Nyepi merupakan ekspresi keagamaan yang kaya makna.

Nyepi adalah sebuah ritual penyucian mikro kosmos dan makro kosmos atau juga disebut bhuwana alit (alam manusiawi) dan bhuwana agung (alam semesta).

"Tujuan dari ritual ini untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyan (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan dan keindahan)," kata Wiyana yang juga Ketua Yayasan Dwijendra Denpasar.

Dikatakan, sebelum pelaksanaan ritual Nyepi, umat Hindu di Bali melakukan "Melasti" ke pantai atau sumber mata air yang bermakna untuk melebur segala macam kotoran baik yang merusak pikiran, perkataan maupun perbuatan.

"Sehari sebelum Nyepi, dilakukan upacara tawur yang bertujuan mengembalikan keseimbangan alam manusia (bhuwana alit) dan alam semesta (bhuwana agung) dengan menyesuaikan tempat, waktu dan situasi masing-masing (desa, kala, patra)," katanya.

Sedangkan pada puncak Nyepi, kata dia, umat Hindu melakukan Catur Brata Nyepi, yaitu empat ritual puasa yang dilakukan selama 24 jam, sejak matahari terbit pukul 06.00 hingga matahari terbit pada Rabu (17/3) pukul 06.00 Wita.

Menurut Wiyana, keempat ritual tersebut yaitu "amati geni", yakni tidak menyalakan api, sebagai simbol pemadaman hawa nafsu dari segala godaan kenikmatan duniawi.

Kemudian "amati karya", menghentikan segala bentuk pekerjaan jasmani untuk lebih berkonsentrasi meningkatkan kegiatan penyucian rohani.

"Amati lelungaan", menghentikan segala bentuk perjalanan jasmani, untuk lebih mawas diri dan "amati lelanguan" atau tidak melampiaskan kesenangan untuk lebih memusatkan pikiran pada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi.

Sebagai tanda berakhirnya Brata Nyepi, pada hari Rabu (17/3) dilakukan upacara Ngembak Geni, yakni umat Hindu melakukan dharma santi (ibadah sosial) berupa silaturahmi kepada sanak kerabat dan masyarakat di lingkungan masing-masing, baik tetangga maupun lingkungan kerja.

"Makna penyepian bagi umat Hindu harus dihayati, sehingga dalam kehidupan rumah tangga maupun bermasyarakat akan tercapai saling menghormati dan menumbuhkan kebersamaan berbangsa dan bernegara," kata Wiyana. (Kompas)

Tidak ada komentar: