16 November 2008

Masih Adakah Ruang Privat di Televisi?

Masih adakah ruang privat di era ketika televisi bisa seenaknya membeberkan kisah cinta, keretakan rumah tangga, hingga perceraian siapa saja? Anda mungkin masih ingat konflik Kiki Fatmala dan ibunya, Farida, yang dibeberkan hampir semua infotainmen tahun 2006. Saat itu, jutaan pemirsa TV bisa menyaksikan bagaimana Farida dengan geram mengutuki Kiki. Kiki hanyalah salah seorang dari banyak pesohor yang ruang pribadinya habis dikoyak-koyak infotainmen dan media gosip. Perselisihan dengan ibunya, masa lalunya, dan proses perceraian dengan suaminya diulas sampai tandas. Ketika penonton mulai jenuh dengan berita kawin-cerai dan konflik selebriti, televisi pun melirik urusan pribadi masyarakat umum. Maka, muncullah acara- acara reality show, seperti Playboy Kabel, Backstreet (SCTV), Termehek-mehek (Trans TV), Face to Face, Cinta Patut Diuji (antv), Mata-mata (RCTI), dan seabrek acara sejenis.
Seperti infotainmen, reality show semacam ini kerap membeberkan masalah pribadi orang lain dengan amat detail. Percintaan, perselingkuhan, konflik, dan tingkah negatif seseorang diintip, kemudian dijadikan tontonan layaknya sinetron, lengkap dengan tangisan, gamparan, dan makian. Secara umum, acara-acara semacam itu melayani siapa saja yang ingin mengadukan masalah pribadinya. Karena itu, ada istilah pelapor atau klien buat mereka yang mengadu. Ada pula istilah target buat mereka yang diadukan.

Tengoklah Termehek-mehek episode 9 Agustus 2008. Seorang perempuan yang dihamili dan ditinggal begitu saja oleh pacarnya mengadu ke kru Termehek-mehek. Kru langsung menindaklanjuti pengaduan itu dengan mencarikan pacar si perempuan (target). Singkat cerita, kru berhasil menemukan target di rumah orangtuanya. Di depan orangtua target, si perempuan meminta pertanggungjawaban sambil mengiba-iba. Orangtua target tampak begitu kaget, marah, dan malu bukan main. Apalagi semua masalah itu diabadikan kamera. Dia pun menampar wajah anaknya dan meminta kru mematikan kamera.

Pada salah satu episode Playboy Kabel, seorang perempuan (pelapor) meminta kru menguji kesetiaan pacarnya (target). Kru pun mengirim seorang perempuan lain untuk menggoda target. Semua aktivitas dan obrolan penggoda dan target direkam kamera tersembunyi dan bisa dilihat serta didengar langsung pelapor. ”Elu udah punya pacar?” kata perempuan penggoda. ”Belum,” jawab si target. Maka, murkalah si pelapor mendengar jawaban target yang tak lain adalah pacarnya. Dia pun keluar dari persembunyian dan mendatangi pacarnya. Plak... plak... plak. Dia menampar pacarnya dan saat itu minta putus.

Pimpinan PT Triwarsana Helmy Yahya yang memproduksi sebagian besar reality show semacam itu mengklaim, kisah yang diangkat benar-benar nyata. Meski begitu, dia akui ada unsur rekayasa pada plot cerita. ”Kami memilih adegan-adegan yang bisa menguras emosi pemirsa,” katanya, Selasa (11/11).

Kepala Departemen Marketing PR Trans TV Hadiansyah Lubis juga mengklaim kisah Termehek-mehek adalah nyata. Bahkan, acara itu dimainkan langsung si pemilik kisah. Menurut dia, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan orang yang bersedia membeberkan masalah pribadinya, asalkan bisa masuk televisi. Dalam satu minggu, katanya, pihaknya menerima 25-50 surat elektronik dari orang-orang yang ingin kisah pribadinya diangkat Termehek-mehek.

Namun, cerita Rangga (25) agak berbeda. Pegawai swasta ini mengaku pernah main dalam dua reality show cinta-cintaan yang berbeda. ”Kisah yang gue mainin bukan masalah pribadi gue. Itu ada skenarionya. Malu dong kalau masalah pribadi gue dibeberkan ke jutaan pemirsa,” katanya.
Jika ukurannya rating, reality show yang mengulas masalah pribadi tergolong digemari penonton. Menurut Hadiansyah, Termehek-mehek ratingnya rata-rata 7 atau ditonton sekitar 3,5 juta orang setiap episode. ”Rating acara ini mengalahkan semua acara hiburan di seluruh televisi nasional saat ini,” katanya, Rabu (12/11). Budi Darmawan, Manager PR SCTV, menambahkan, reality show cinta-cintaan di stasiunnya juga memperoleh sambutan yang baik dari penonton. Karena itu, SCTV memasang sekaligus beberapa reality show cinta dalam sepekan.

Soal etika
Mengapa acara seperti itu digemari? Abdul (32), warga Cileduk, mengatakan, dia sering merasa terhanyut dengan kisah yang diangkat reality show. ”Istri saya kadang ikut menangis kalau melihat kisah orang dikhianati cintanya,” kata Abdul yang biasa menonton reality show berdua istrinya. Namun, sebagian penonton mengaku muak dengan acara-acara semacam itu. ”Acara televisi kok isinya ribuuut melulu,” kata Waluyo (27), warga Kemanggisan.

Harry (32), warga Cakung, menilai, reality show kurang etis karena membeberkan rahasia kehidupan orang lain di televisi. ”Itu sebabnya saya malas nonton acara semacam itu,” ujarnya.
Reality show yang mengulas masalah pribadi memang menimbulkan pro-kontra. Namun, bagi pembuat reality show, etis tidaknya membeberkan masalah pribadi ke ruang publik ternyata sekadar perkara teknis. Menurut Helmy, sepanjang yang bersangkutan bersedia mengungkap kisah pribadinya di televisi, berarti tidak ada masalah. ”Yang penting tidak merugikan orang lain.” Hadiansyah menambahkan, pihaknya selalu memperlihatkan hasil shooting sebelum ditayangkan. Jika yang bersangkutan keberatan, tayangan akan dibatalkan. Apa pun penilaian orang, Helmy mengatakan, dia akan tetap memproduksi acara-acara semacam itu. ”Saya sudah kebal dikomentari, diprotes. Saya memilih menulikan kuping,” ujarnya. Helmy mengingatkan bahwa reality show semacam itu ada karena masyarakat memiliki kegemaran mengintip urusan pribadi orang lain. ”Kita kan seperti itu,” katanya.

Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, berpendapat, bangsa ini memang memiliki tabiat suka memarodikan diri sendiri. Kita senang mengolok-olok dan melihat orang diolok-olok. Itu sebabnya, kita gemar menonton tayangan gosip dan reality show yang menerabas batas privasi orang lain. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa kita selama ini tidak memiliki kedewasaan dan tanggung jawab.

Pengamat media massa, Ashadi Siregar, menambahkan, kita jangan terlalu berharap televisi akan memiliki kesadaran tentang batas ruang privat dan publik. Pasalnya, kesadaran mereka sebatas pada konsumen. ”Dunia televisi sekarang ini adalah dunia dagang. Yang mereka buat bukan (acara) yang pantas atau tidak, tapi sensasional atau tidak. Kalau sekarang konflik (pribadi) laku dijual, maka itulah yang dijual.” (Kompas Minggu)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada! Itu semua tergantung kitanya. Mau apa tidak dijadikan konsumsi televisi? Kalau tidak, kita bisa menghindar kok, kecuali anda sedang jadi obyek berita karena anda seorang terkenal atau berkelakukan diluar kebiasaan...

Dunia TV mengatakan...

Bagai Telor dan Ayam, mana duluan? wakakak