KPI Pusat masih menemukan adanya tayangan iklan SMS Reg Supranatural atau mistis yang tayang di bawah pukul 22.00 WIB di beberapa stasiun televisi nasional. Hal itu terungkap dari pengaduan dan juga pemantauan KPI Pusat akhir-akhir ini. Terkait hal itu, KPI Pusat memberikan peringatan kepada semua stasiun televisi, Jumat (26/2).
Dalam surat peringatan yang dikeluarkan oleh KPI Pusat dijelaskan tayangan tersebut dinilai telah melanggar Standar Program Siaran (SPS) Pasal 9 ayat 1. Pasal tersebut menyebutkan “Program dan promo program faktual yang bertemakan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 sesuai dengan waktu stasiun yang menayangkan.
KPI Pusat juga mengungkapkan kalau pada tahun lalu (10 April 2008 dan 19 Juni 2008), KPI Pusat pernah memberikan surat peringatan tentang hal yang sama kepada salah satu televisi. Terkair hal itu, KPI berencana akan menindaklanjuti ke jalur hukum apabila peringatan kali ini tidak diindahkan oleh semua stasiun televisi.
Dalam surat peringat tersebut, KPI Pusat juga melampirkan daftar-daftar iklan Reg yang tayang di televisi yakni Reg Mimpi, Reg Ramal, Reg Primbon Air, Reg Weton, Reg Weton Konsultasi, Reg Mantra, Reg Primbon, Reg Manjur, Reg Kasih, Reg Fery nama tanggal lahir, Reg Yo, Reg Mama, Reg Reg Ramal Tanggal Lahir, Reg Misteri, Reg Hantu dan Reg Jodoh. Kesemua iklan tersebut berdurasi 30 detik. (KPI)
28 Februari 2009
KPI Ingat Stasiun TV Soal Iklan Reg
TV Analog Kian Jenuh, TV Digital Mulai Digandrungi
Produsen elektronik mulai melirik pasar TV digital seiring pasar TV analog yang kian jenuh. Mau tahu seluk beluk metode penyiaran digital yang diklaim mempunyai banyak keunggulan dibandingkan siaran TV analog ini?
Siaran TV digital atau penyiaran digital adalah jenis siaran televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal video, audio, dan data ke pesawat televisi.
Perkembangan televisi digital sendiri dilatarbelakangi oleh perubahan lingkungan eksternal, yaitu pasar TV analog yang sudah jenuh dan adanya kompetisi dengan sistem penyiaran satelit dan kabel.
Selain itu juga adanya perkembangan teknologi, yaitu teknologi pemrosesan sinyal digital, teknologi transmisi digital, teknologi semikonduktor serta teknologi peralatan yang beresolusi tingggi.
Untuk penerapan sistem siaran televisi digital di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan keputusan yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 27/P/M.Kominfo/8/2008 tentang Uji Coba Lapangan Penyelenggaraan Siaran Televisi Digital dimana teknologi digital yang akan digunakan adalah sistem siaran Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T).
Siaran DVB-T pun diklaim mempunyai banyak keunggulan dibandingkan dengan siaran TV analog. Diantaranya, tahan terhadap efek interferensi, kualitas gambar yang lebih baik, tidak ada noise (bintik-bintik, semut), bayangan atau 'ghost', interaktif, EPG (Electronic Program Guide) yang menampilkan jadwal acara sampai beberapa hari ke depan dan penerimaan yang lebih jelas walaupun pada saat bergerak (mobile).
Kelebihan lainnya adalah efisiensi di banyak hal, antara lain pada spektrum (efisiensi bandwidth), efisiensi dalam network transmission, transmission power dan power konsumsi. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, sistem siaran DVB-T sangat tepat untuk diimplementasikan di Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan beraneka ragam budayanya.
Pelaksanaan migrasi dari siaran analog ke sistem digital pada umumnya dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap transisi dan tahap cut-off. Tahap transisi yaitu menggunakan siaran analog dan digital secara bersamaan sebelum mengganti seluruh perangkat ke sistem digital.
Pada tahap ini agar TV analog dapat menerima sinyal digital dengan kualitas yang baik maka diperlukan suatu perangkat tambahan yaitu Set Top Box.
Produsen Bersiap
Kondisi di atas tentunya membuat produsen elektronik harus bersiap menyongsong suatu era baru. Salah satu produsen yang mulai bersiap menghadapi penerapan sistem siaran televisi digital, yang menurut rencana akan diujicoba Maret 2009 itu adalah Polytron.
Polytron telah memproduksi rangkaian produk Set Top Box dan TV Digital. Set Top Box adalah sebuah perangkat tambahan untuk menerima sinyal digital yang dipancarkan oleh sistem DVB-T yang kemudian diubah ke dalam sinyal analog agar dapat ditampilkan pada monitor TV analog.
Sedangkan TV digital adalah sebuah televisi yang telah menyisipkan teknologi digital ke dalamnya untuk menerima siaran televisi DVB-T tanpa perlu menggunakan perangkat tambahan lagi.
Dalam keterangan tertulis yang diterima detikINET, Jumat (27/2/2009), Set Top Box Polytron yang diberi nama Polytron DVB (Digital Video Broadcast) ini dipasarkan mulai bulan Februari 2009 di kawasan Jabotabek dengan harga Rp 425.000.
Selain itu PT Hartono Istana Teknologi, selaku pemegang merek Polytron, juga telah memproduksi televisi digital Polytron yang sudah mengintegrasikan sistem DVB-T di dalam pesawat tersebut, yaitu pada TV Digital Polytron, yang sudah bisa langsung menangkap siaran secara digital. (Detik.com)
27 Februari 2009
Rating Menentukan Tren Industri Penyiaran
Persoalan rating bagi industri penyiaran ternyata juga dikeluhkan oleh kalangan industri itu sendiri. Pasalnya, keberadaan rating yang hanya dimonopoli oleh satu lembaga survey ini dinilai menentukan tren tayangan di televisi. KPI diharapkan melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap kevalidan survey dari lembaga tersebut.
“Saya usulkan KPI membuat semacam competitif research secara periodik untuk mengecek hasil penelitian dari lembaga survey itu,” kata salah satu perwakilan TV One di depan anggota KPI Pusat Yazirwan Uyun ketika melakukan sosialisasi P3 dan SPS di studio TV One, Kamis (26/2).
Menanggapi usulan tersebut, Uyun menyatakan KPI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja lembaga survey itu. Kewenangan KPI hanya mengawasi isi siaran yang sudah tayang.
“Solusinya, kita bisa mendorong lembaga lain untuk melakukan hal itu tapi bukan KPI. Kabarnya, Depkominfo sedang berencana untuk membuat research seperti itu,” jelas Uyun.
Selain itu, diskusi yang berlangsung hampir dua jam tersebut, membahas pula mengenai padangan KPI terhadap kekerasan dalam berita, proses teguran KPI, kuis SMS, iklan, tayangan berita dan iklan kampanye Pemilu 2009 dan juga tayangan mistik.
Menanggapi mengenai kekerasaan di berita, Uyun menjelaskan bahwa hal itu belum diatur secara jelas di P3 dan SPS KPI. Bahkan, hal itu masih menimbulkan multitafsir seperti contohnya pendefinisian mengenai kata kekerasaan.
Untuk ini, Uyun mengharapkan kepada pihak industri agar membantu memberikan masukan terhadap hal ini demi kesempurnaan P3 dan SPS yang kemungkinan direvisi kembali. “KPI dalam pembahasan masalah yang timbul diranah jurnalistik akan berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum membuat keputusan karena mereka yang paham mengenai persoalan ini,” ungkapnya.
Adapun soal proses teguran, Uyun menceritakan kalau proses teguran yang dilayangkan oleh KPI kepada lembaga penyiaran dilakukan secara hati-hati. KPI tidak melakukan teguran secara sembarangan meskipun banyak aduan dari publik. “KPI selalu berdiskusi sebelum memberikan surat teguran. Meskipun demikian, KPI wajib menyampaikan setiap aduan yang masuk ke KPI kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan,” jelasnya.
Sedangkan mengenai iklan, KPI hanya bisa mengatur persoalan isi dari iklan tersebut. Sedangkan untuk masalah judi atau juga soal penipuan tarif, hal itu merupakan kewenangan dari Depsos dan BRTI untuk menyelidikinya.
“Mengenai ranah mistik, bila dirasa ragu-ragu mengenai hal ini, KPI selalu berdiskusi dengan MUI. Namun, apabila sudah jelas, pasti akan KPI tegur langsung,” papar Yazirwan Uyun.
Mengenai persoalan-persoalan tersebut, pihak industri juga berharap kepada KPI untuk membuat aturan yang jelas khususnya mengenai mistik dan juga tayangan-tayangan mengenai ajaran baru yang berkembang dimasyarakat. (KPI)
Generasi Televisi Kita
HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku menulis di rubrik Kompas tentang Televisi sbb. :
Dominasi penyakit orang sekarang lebih lantaran tak tepat memilih gaya hidup. Salah satunya adalah soal pilihan menu. Penyakit degeneratif dan kanker terbukti berkorelasi dengan apa yang kita makan sedari kecil. Itulah sebabnya jantung koroner dan stroke kini menimpa usia lebih muda.
Boleh jadi sebab lidah orang sekarang sudah terbentuk salah selagi masih kecil. Cita rasa dirusak oleh menu restoran dan jajanan (snackaholic) sejak kanak-kanak. Anak sekarang tak menyukai sayur lodeh, tempe, dan pepes jamur di meja makan rumah.
Sungguh celaka kini kita melihat jajanan pabrik sudah merambah kampung dan desa. Di mana-mana anak memilih keripik ketimbang kacang rebus. Ketika kini di Jepang dan orang Barat menjauhi menu olahan serta mencari ubi, labu, bulgur, dan padi-padian alami, masyarakat kita masih gandrung pada ayam goreng dan kerupuk.
Gorengan kita kebanyakan buruk jenis minyaknya dan kerupuk memakai penyedap serta zat warna yang belum tentu layak dikonsumsi.
Gizi ”generasi televisi”
Tepat bila menyebut generasi anak sekarang sebagai ”generasi televisi”. Gizi anak dibangun oleh asupan penganan yang ditawarkan iklan televisi. Belum tentu semua menyehatkan alih- alih bergizi. Yang aman dikonsumsi pun masih perlu dikaji kandungan penyedap dan pemanis buatannya (sweetener).
Tentu tidak semua pemanis buatan aman dikonsumsi. Yang tergolong aman buat orang dewasa belum tentu aman untuk anak. Tabiat serba manis, asin, dan berlemak dari menu jajanan adalah sumber penyakit di hari depan. Namun, sihir iklan makanan televisi mengecoh cita rasa sehat anak kita.
Zat kimia bertambah
Di Amerika Serikat, zat kimia dalam industri makanan terus bertambah. Namun, Food and Drugs Agency (FDA), semacam Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), di sana ketat melarang dan mengawasi produk yang membahayakan kesehatan.
Sementara itu, industri makanan rumahan begitu menjamur di sini sehingga tidak terjangkau oleh rentang kendali Badan POM sendiri.
Belum terhitung industri makanan yang nakal. Ada yang nekat memakai bahan berbahaya plastik untuk bikin garing gorengan, mencampurkan kimiawi berbahaya untuk minuman cincau, odol palsu, bahan perenyah keripik, zat antilengket mi, selain pengawet yang belum tentu aman dikonsumsi.
Beberapa negara sudah melarang untuk mengonsumsi minyak trans. Hampir semua jajanan, biskuit, penganan yang dijual di pasar memakai minyak yang tak menyehatkan.
Sama tak menyehatkannya dengan minyak goreng bekas restoran yang ditadah oleh penjaja gorengan pinggir jalan.
Orang kaya dan rakyat papa kini sama-sama memikul risiko kanker sebab tak menginsafi bertahun-tahun menelan karsinogen pencetus kanker dalam makanan sehari-hari.
Saus tomat dan sambal murah industri rumahan di ibu kota negara pun masih banyak beredar, apalagi di kampung dan desa. Tiap hari kita menelan zat warna tekstil rhodamine B dalam saus tomat dan sambal murah, atau warna kuning sirop dan limun methylene yellow, berarti bibit kanker tengah ditanamkan.
Belum nitrosamine dalam ikan asin, obat nyamuk antibelatung yang disemprot ke ikan asin, luasnya pemakaian pestisida, kimiawi pengawet kulit apel impor, dan banyak lagi yang tertelan dari air minum, serta jajanan, tak semua terbebas dari zat karsinogen (bersifat menyebabkan kanker).
Ada yang meramalkan, generasi anak sepuluh tahun lalu dan sepuluh tahun di depan bakal berbondong-bondong masuk rumah sakit kanker jika konsumsi menu tercemar karsinogen tidak dihentikan. Termasuk generasi orang tua yang tergoda menukar menu ikan pindang ke bistik. Kelebihan konsumsi daging juga berkorelasi dengan kejadian kanker.
Daripada makanan industri rumah, makanan dan penganan pabrik betul lebih aman, tetapi kelebihan kalori dari minyak, gula, susu, dan mentega (junk food). Adapun makanan buatan rumahan selain belum tentu cukup bergizi dan tak higienis, mungkin tak aman dikonsumsi jika kita melihat zat aditif yang dipilih.
Adalah kewajiban pemerintah menyediakan makanan yang aman bagi masyarakat. Masyarakat berhak dilindungi dari ancaman makanan yang merusak kesehatan.
Ke ”meja makan nenek”
Sudah saatnya memberi tahu anak dan masyarakat untuk kembali memilih menu ”meja makan nenek”. Selain lebih murah, menu makanan itu juga menyehatkan.
Menu tradisional bersifat menu seimbang (slow food). Bahwa yang menyehatkan itu bukanlah bistik, melainkan pepes ikan. Bukan donat atau ayam goreng, melainkan pisang rebus atau tahu dan tempe bacem. Bukan roti putih, melainkan bekatul dan bulgur. Bukan biskuit, melainkan talas rebus. Terigu dan gula pasir tak lebih menyehatkan daripada gandum dan air tebu.
Menu restoran selain bahannya belum tentu segar, umumnya kelebihan kalori dan diimbuhi kimiawi yang belum tentu aman dan menyehatkan.
Sepiring nasi, sepotong ikan, tahu, tempe, dan semangkuk sayur lodeh itu kiprah menu orang yang sadar hidup sehat sekarang ini. Ketika ubi, ketela, sayur dan buah organik, biji-bijian, kacang-kacangan, serta umbi-umbian tersedia di supermarket, berarti komoditas itu yang sedang digandrungi dan dicari orang sekarang.
Ketika aneka lalapan hadir makin beraneka di pasar modern, bukti orang gedongan mulai sadar bahwa pilihan sehat bukanlah menu olahan.
Ketika semakin banyak penyakit sebab tubuh orang sekarang kekurangan enzim, maka orang mengejar sayuran dan buah-buahan segar saja.
Orang meninggalkan menu yang bahan bakunya disimpan lama, atau yang diolah secara berlebihan, atau dengan cara serta alat masak yang berbahaya kandungan bahan logamnya, dan tingkat pengapiannya.
Belum terlambat kampanye menu sehat dan makanan aman di sekolah, selain mendorong peran media massa dan televisi khususnya.
Bahwa kesehatan itu ada di dapur, bukan di restoran. Bahwa meja makan ibu yang menentukan hari depan kesehatan keluarga. Jajanan sehat itu makanan alami yang serba direbus, dikukus, atau disangrai.
Demi tujuan menginvestasi generasi yang sehat, lidah anak perlu disetel ulang. Jangan sampai lagi kita membangun ”generasi kerupuk” dan kelompok usia produktif yang pada akhirnya nanti sampai (harus) mati prematur oleh stroke, jantung koroner, dan kanker hanya karena sejak kecil membiarkan mereka salah memilih menu dan jajanan.
22 Februari 2009
Acara Kuliner Enggak Ada Matinya
Kompas Minggu menurunkan tulisan acara televisi sbb. :
Tahun terus berganti. Acara kuliner tetap bertahan di layar kaca. Rupanya, penggemar acara yang berkaitan langsung dengan urusan perut ini tergolong loyal.
Di Trans TV, acara Gula-gula asuhan Bara Pattirajawane dan Wisata Kuliner asuhan Bondan Winarno masih tetap berkibar. Kedua acara ini masing-masing ditayangkan sejak tahun 2005 dan pertengahan 2006. Belakangan, stasiun ini juga meluncurkan acara kuliner baru Ala Chef yang diasuh Farah Quinn.
Indosiar masih mempertahankan acara Bango Cita Nusantara yang tayang sejak tahun 2007. Sebelumnya, acara tersebut diputar di Trans TV sejak awal tahun 2005.
Di Metro TV, acara masak asuhan William Wongso juga masih ada. Awalnya, acara itu bernama Cooking Adventure With William Wongso, kemudian berganti nama menjadi Cita Rasa William Wongso. Acara itu, hingga pekan lalu, telah memasuki episode ke-96.
Di TPI, Santapan Nusantara telah bertahan 13 tahun. Stasiun yang identik dengan dangdut ini, mengeluarkan lagi tiga acara kuliner lainnya, yakni Koki Kikuk, Sooo Puas, dan Emak Mencari Anu.
Sementara itu, di Trans7, ada Koki Cilik. Selain itu, Trans7 menyisipkan segmen kuliner asuhan Chef Rustandy di program berita Selamat Pagi.
Di RCTI, acara kuliner justru menghilang. Padahal, stasiun televisi swasta pertama ini pernah memiliki ikon acara kuliner Selera Nusantara asuhan Rudy Choirudin yang bertahan lebih dari satu dekade.
Mengapa acara kuliner bertahan dan tidak timbul tenggelam mengikuti tren seperti acara-acara lainnya? Kepala Departemen PR Marketing Trans TV Hadiansyah, Kamis (18/2), mengatakan, acara kuliner memiliki segmen pasar yang cukup luas dan mampu menarik iklan.
”Dari sisi rating, acara kuliner saat ini tidak besar, paling mentok 2. Tapi, acara ini punya penonton loyal, terutama ibu-ibu,” katanya.
Humas Indosiar Gufroni mengatakan hal senada. ”Acara kuliner itu bisa menjadi salah satu ikon, jadi kami tidak akan menghilangkannya.”
Konteks sosial
Meski bertahan cukup lama, pendekatan acara-acara kuliner di televisi nasional sejatinya tidak banyak berubah. Kebanyakan masih sebatas bagi-bagi resep atau mengajak pemirsa mencicipi makanan di tempat tertentu.
Sebagian juga masih mengandalkan selebriti untuk menarik perhatian penonton meski pengetahuan mereka tentang kuliner kadangkala pas-pasan. Akibatnya, sebagian dari mereka hanya mampu mengapresiasi makanan dengan kalimat, ”Masakannya enak banget. Rasanya manis, gurih, sedikit asin.”
Namun, ada beberapa acara kuliner yang memberikan informasi dan edukasi cukup baik mengenai dunia kuliner. Salah satunya adalah acara Cita Rasa William Wongso.
William tidak hanya mempraktikkan kepiawaiannya memasak, tetapi, lebih jauh, dia berusaha memberikan konteks sosial-budaya atas kegiatan kuliner. ”Buat saya, kalau acaranya hanya masak, tidak banyak gunanya karena memasak itu hanya salah satu dari sebuah proses panjang,” kata William, Kamis, di sela-sela shooting.
Karena itu, William mengawali acaranya dengan ”bertamasya” ke pasar tradisional. Sambil menjelaskan bagaimana memilih bahan-bahan masakan yang baik, dia juga akan bercerita keunikan masing-masing pasar yang dia kunjungi.
Kelihatannya, ini seperti jalan-jalan biasa. Namun, sebenarnya kita sedang diajak menyelami akar tradisi kuliner di daerah tertentu.
Dari sudut pasar tradisional yang semrawut, dia berusaha menemukan makanan khas di sana. Lalu, berbincang-bincang seputar makanan itu dengan pedagangnya. William juga mampu menjelaskan pengaruh budaya tertentu yang terkandung dalam sejumlah masakan yang dia cicipi.
Di segmen terakhir, William mencoba memasak makanan lokal yang dia temui di pasar tertentu dengan interpretasinya sendiri.
Segmen kuliner di Selamat Pagi Trans7 juga memberikan edukasi cukup baik. Di segmen itu, Chef Rustandy tidak hanya menunjukkan bagaimana cara memasak sebuah menu dengan baik. Namun, dia juga menghitung nilai gizi dan kalorinya.
Acara kuliner memang sebaiknya terus mencari pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan kebutuhan pemirsa. Membagi resep atau mengajak berwisata makanan tidak lagi cukup.
20 Februari 2009
KPID Jabar Periksa Dua TV Lokal
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat (Jabar) sedang memeriksa dua televisi swasta lokal Jabar yang diduga tidak melakukan pemberitaan secara berimbang atas peserta Pemilu 2009.
"Kedua stasiun TV itu memberikan waktu penuh (blocking time) dalam acara talkshow kepada hanya satu partai politik. Menurut aturannya, hal itu tidak diperbolehkan," ujar Ketua KPID Jabar Dadang Rahmat Hidayat, Rabu lalu.
Bila kedua stasiun TV terbukti melakukan blocking time, KPID Jabar akan memberikan sanksi berupa teguran hingga sanksi terberat berupa pertimbangan untuk tidak memperpanjang izin penyiaran lembaga penyiarannya.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, KPID Jabar juga telah menegur dua stasiun radio swasta lokal Jabar dan satu radio komunitas dengan kasus serupa. (KPI)
19 Februari 2009
Ada Apa Dengan SCTV??
Kami kutipkan tulisan yang beredar di milis belum lama ini. Berikut tulisannya :
Ada kabar buruk soal SCTV. Don Bosco yang sebenarnya belum resmi keluar dari Komisi Penyiaran Indonesia kini menjadi pimpinan divisi pengembangan program berita untuk SCTV dan anak-anak perusahaan SCM.
Dengan segera efeknya terasa. Rosi Silalahi ditendang ke atas menjadi penasehat perusahaan. Pemred SCTV diambilalih oleh sang owner, Fofo Sariatmadja. Bayu Setiono sudah diperintahkan tidak bersiaran karena memprotes perubahan mencurigakan ini. Beberapa nama kabarnya sudah menyatakan akan mengundurkan diri.
Marilah kita berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Hampir pasti Don Bosco dimasukkan karena alasan politik. Dia adalah anggota KPI, yang sejak awal memang sudah mencurigakan. Dia masuk ke KPI karena diutus ATVSI.
Sejak Don Bosco dan Iwan Uyun masuk, ditambah lagi dengan kaum oportunis murni seperti Bimo Nugroho dan Sasa Djuarsa, KPI menjelma menjadi kumpulan pesuruh yang sekadar menjalankan perintah industri dan pemerintah.
KPI sekarang sudah mampus. Bimo saja sebanarnya sudah melamar ke BRTI, tapi sayangnya tak lolos seleksi. Sekarang, setahun sebelum masa jabatannya di KPU usai, Don sudah loncat ke SCTV.
Kenapa sekarang? Kebetulan? Get real, man!
Jawaban paling mudah adalah karena menjelang pemilu. Rosi, Bayu dkk saya rasa terlalu tidak bisa dikontrol dan diprediksi. Mereka terlalu independen. Pengaruh Don sudah kelihatan kok. Lihat saja acara Barometer Rabu malam. Acara yang sebelumnya diisi oleh hal-hal substanstif dan serius itu, kemarin berubah menjadi dangkal. Isunya soal Ponari dengan yang dibahas dengan cara lemot. Aku tanya ke produsernya: "Kok bisa begitu?" Jawabnya, ia tidak lagi dilibatkan. Don yang turun tangan menentukan sendiri isi program dan mengganti topik yang sebelumnya diputuskan
yakni soal Hillary Clinton.
Don akan mengubah gaya pemberitaan SCTV, menjadi lebih soft dan entertaining. Tampilan presenter akan menjadi penting. Siapapun yang sering baca teks-teks ekonomi politik kritis yang memperingatkan bahwa campur tangan modal dalam media itu berbahaya bagi demokrasi, sekarang menemukannya secara kasat mata di Don Bosco
dan SCTV. Don itu bukan mastermind. Dia cuma operator.
Pertanyaannya: siapa?
Siapapun yang peduli dengan kebebasan pers, perlu concern dengan perkembangan SCTV ini.
16 Februari 2009
Bingung Memilik Operator TV Kabel
Saya kutipkan kebingungan seseorang dalam memilih operator TV kabel mana yang lebih baik. Berikut tulisannya dari milis yang beredar di internet :
Dear pembaca sekalian, semakin jeleknya tayangan tv lokal mau tak mau membuat saya tampaknya mesti pasang tv berlangganan. Jadi dalam kesempatan ini, saya mau tanya apakah dalam waktu dekat ini akan ada tambahan operator pay-tv selain dari yang sudah eksis seperti : Indovision, FirstMedia, TelkomVision, dan OkeVision ? Maklum, tampaknya kalau cuman mereka doank ( ditunggu yang gaya pemasarannya agresif ala Astro, he he he... ), rasanya harga abodemennya masih belum terjangkau untuk ukuran kantong saya, bukankah dengan nantinya banyak kompetitor yang masuk juga mau nggak mau mereka perang paket tarif untuk memikat pelanggan baru ?
Tadinya saya mau pasang OkeVision, tapi lihat disitusnya tampaknya mesti ada “kontrak” 1 tahun, kalau berhenti di tengah jalan nanti dipotong biaya pinalti. Nach, saya tuch takutnya sesudah pasang OkeVision ini pas 2-3 bulan selanjutnya ada tawaran lain yang lebih oke dengan harga yang relatif terjangkau, khan saya jadi rugi.
Btw, mungkin ada yang bisa sharing buat para pembaca yang sudah menjadi pelanggan pay-tv, serial atau program apa saja yang menjadi favoritnya ? Buat penyedia content juga mohon bisa lebih sering mensosialisasikan lagi di media massa dan mal2, misalnya nich kalau nonton Universal ada unggulan drama “Crusoe” ( seperti yang dipromosikan OkeVision ), di AXN bisa dapat serial CSI atau 24, di StarWorld ada Heroes atau The Simpsons, dan seterusnya. Jadi pemirsa tahu apa produk yang bersedia untuk dibayarnya, bukan cuman ngomong “jangan asal” atau “bukan yang lain” tapi kita tidak dikasih tahu apa berbagai alasan agar kita tidak “asal pilih” tersebut.
NB :
Menyimak fenomena makin murahnya tv berlangganan, buat tv swasta nasional siap2 saja untuk kehilangan potensi segmen pemirsa televisi kelas A dan B di daerah perkotaan.
12 Februari 2009
TV Lokal Jadi Target Kampanye Politik
Televisi sebagai bagian dari media massa memiliki daya tarik sendiri dalam menyiarkan informasi politik. Televisi tidak hanya memberikan informasi dan hiburan, tetapi juga memberikan pendidikan dan sarana aktualisasi diri. Poin terakhir inilah yang menjadi alasan betapa banyaknya pihak yang memanfaatkan televisi untuk sarana aktualisasi baik pribadi maupun kelompok, terutama saat pemilu seperti saat ini. Dengan tampil di televisi, walaupun hanya beberapa menit, jutaan pemirsa dapat menyaksikannya.
”Peran strategis inilah yang membuat televisi diperebutkan banyak pihak baik dari pihak penguasa maupun pemilik,” ujar Wakil Pemimpin Redaksi TV One, Nurjaman, pada acara Seminar Media dan Politik “Peranan Media Dalam Pemilu 2009” di Ruang Sidang Seminar Gedung D Lantai 2 FISIP Unpad di Jatinangor, Selasa (10/2).
Acara yang diselenggarakan oleh Laboratorium Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad ini dibuka oleh Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof.Dr. Nasrullah Natsir, M.S.
Pada masa kampanye seperti sekarang, televisi nasional tidak menjadi sasaran kampanye calon legislatif (caleg) karena biayanya sangat besar. Mereka mungkin lebih memilih televisi lokal yang lebih dekat dengan daerah pemilihannya (dapil). ”Walaupun demikian televisi nasional masih menjadi pilihan para calon presiden (capres) untuk mengiklankan dirinya untuk persiapan kampanye pemilu presiden,” ujar Nurjaman.
Sementara itu, Ketua KPID Jabar Dadang Rahmat Hidayat menyatakan, peranan media massa dalam politik sangatlah besar. Satu sama lain saling berkaitan erat. Media massa dapat memberikan efek komunikasi politik yang sangat besar. Efek-efek tersebut antara lain sosialisasi politik, partisipasi politik, pendidikan politik, dapat mempengaruhi pemilih dan mempengaruhi kebijakan politik.
”Sosialisasi memperbesar partisipasi politik baik secara kuantitatif maupun kualitatif,” kata Dadang yang juga Dosen Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi. Dadang juga menambahkan bahwa media massa sebaiknya tidak hanya mengangkat persoalan secara objektif, tetapi juga solutif.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dosen Fisip Unpad Samugyo Ibnu Redjo. Menurutnya, media massa memang memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi khalayak., akan tetapi media massa seakan-akan menjauhkan dari realita politik yang ada. Samugyo mencontohkan, televisi sekarang banyak yang hanya memikirkan rating tanpa memikirkan dampak yang terjadi masyarakat. (KPI)
06 Februari 2009
KPI Pusat Tegur SCTV dan RCTI Terkait Iklan Partai Gerindra
KPI Pusat memberikan teguran kedua pada RCTI dan SCTV terkait penayangan iklan Partai Gerindra yang melebihi durasi yang telah ditentukan oleh UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu 2009. Meskipun demikian, KPI Pusat hanya meminta kepada lembaga-lembaga penyiaran yang bersangkutan untuk lebih memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku di UU Penyiaran dan UU Pemilu.
Menurut UU Pemilu 2009 pasal 95 ayat (1) menyebutkan batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 (sepuluh) spot berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye. Hal itu diungkapkan dalam surat teguran KPI Pusat kepada kedua stasiun televise tersebut, Rabu (4/2).
Hasil analisis desk penyiaran Pemilu KPI menyatakan pelanggaran kelebihan durasi iklan Partai Gerindra terjadi pada bulan November dan Desember 2008. Malah, pelanggaran penayangan iklan Partai Gerindra di RCTI pada bulan November tahun tersebut sebanyak enam kali, sedangkan pada bulan Desember ada tiga kali pelanggaran.
Menurut penjelasan KPI Pusat dalam surat teguran tersebut, KPI Pusat pernah melakukan teguran serupa pada 17 September 2008. (KPI)
05 Februari 2009
Diancam Distop, Indosiar Tetap Tayangkan 'Hareem'
KPI Pusat mengancam akan menghentikan sinetron 'Hareem' yang dibintangi Shandy Aulia jika materinya tidak diperbaiki. Namun pihak Indosiar sebagai stasiun televisi yang menayangkan 'Hareem' tetap akan memutar sinetron itu.
"Sementara belum akan kita perbaiki karena kita akan bicara dulu dengan pihak PH-nya, jadi sementara ini tetap seperti biasa," jelas Gufron, Humas Indosiar, saat dihubungi detikhot lewat telepon, Kamis (5/2/2009).
Gufron menjelaskan kalau pihaknya sudah bertemu dengan KPI Pusat dan telah membahas soal 'Hareem'. Indosiar pun menyambut baik surat peringatan yang telah dikirimkan.
Menurut Gufron, cerita 'Hareem' tidak sedikit pun berniat untuk melecehkan atau menghina Islam. Mengenai protes yang dilayangkan MUI dan sejumlah anggota masyarakat, Indosiar akan menjadikannya sebagai masukan.
"Ini kan tayangnya masih awal-awal yah, baru seminggu, jadi ini kan bukan keseluruhan ceritanya. Tapi di sini kami ingin menyampaikan kalau kami tidak ada maksud untuk menyinggung atau melecehkan agama mana pun," tutur Gufron.
'Hareem' yang tayang Senin hingga Sabtu mulai pukul 19.00 WIB itu bercerita mengenai seorang pria yang menganut poligami dalam rumah tangganya. Cerita tersebut mirip dengan kisah Syekh Puji yang bikin heboh itu. (Detik.com)
01 Februari 2009
"Obamaforia" di Layar Kaca
Kompas Minggu menulis : Eforia atas kemenangan Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat terjadi di Indonesia. Hampir semua stasiun televisi nasional di Tanah Air, bahkan, merasa perlu menyiarkan pelantikan Obama secara langsung dari Capitol Hill, Selasa (20/1) waktu setempat.
Menyaksikan acara pelantikan Obama melalui televisi, kita bisa terhanyut dan merasa seakan-akan Obama itu orang Indonesia. Mengapa perasaan seperti itu muncul? Karena fakta bahwa Obama pernah tinggal empat tahun di Jakarta, ditonjol-tonjolkan terus dan menjadi cantolan dari sebagian pemberitaan atau talk show.
Itu sah-sah saja, sebab fakta tersebut memang merupakan ”barang dagangan” berharga di tengah euforia atas kemenangan Obama yang melanda orang Indonesia.
Di layar kaca, beberapa stasiun televisi berlomba menampilkan orang-orang Indonesia yang pernah ada di sekeliling Obama. TVOne, misalnya, mewawancarai beberapa teman Obama semasa kecil, mantan gurunya, dan Lia atau Mbak Non yang mengaku sebagai kakak angkat Obama.
Mereka ditanya secara rinci bagaimana Obama kecil, bagaimana kecerdasannya, apa kesukaannya, bagaimana tampang Obama ketika ngambek, dan pertanyaan lainnya yang boleh jadi tidak relevan lagi dengan sosok Obama sebagai presiden AS saat ini.
MetroTV memberitakan Obama sejak dia mengikuti konvensi pemilihan calon presiden di Partai Demokrat. Setelah itu, televisi berita ini cukup intens memberitakan kampanyenya hingga Obama terpilih sebagai presiden.
Devi Triana, Senior Produser MetroTV, mengatakan, pihaknya sengaja membeberkan proses pemilu AS secara detail agar bisa diambil hikmahnya oleh bangsa Indonesia yang tahun ini juga akan menggelar pemilu.
Puncak dari seluruh pemberitaan soal Obama di televisi terjadi ketika pelantikan Obama sebagai presiden AS. Stasiun televisi nasional mengalokasikan waktu mulai pukul 23.00-03.00 untuk acara tersebut.
MetroTV memilih membicarakan bagaimana prosesi pelantikan presiden AS sambil menantikan tayangan langsung pelantikan dan pidato Presiden Obama. Sayangnya, siaran langsung itu seringkali terpotong iklan yang menjengkelkan penonton.
Devi mengatakan, slot iklan program Live Event yang menayangkan pelantikan Obama memang habis terjual. ”Memang ada beberapa bagian yang terpotong, tapi ketika Obama dilantik hingga pidato, bersih dari iklan,” katanya, Jumat (30/1).
Trans TV membicarakan harapan terhadap Obama sambil berusaha menjawab apakah harapan tersebut realistis. Stasiun ini juga mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat AS melalui cerita para selebriti yang pernah tinggal di negara itu, seperti Tantowi Yahya dan Paquita Wijaya.
Ketika memasuki sesi pidato Obama, Trans menerjemahkan secara lisan hampir semua pernyataan Obama dalam bahasa Inggris ke Indonesia. Alih-alih menjelaskan, penerjemahan itu justru mengganggu penonton. Pasalnya, suara sang penerjemah seringkali menutupi pernyataan Obama.
Wakil Pemimpin Redaksi Buletin dan Isu Terkini Trans TV Santa Curanggana, Jumat, mengatakan, pihaknya sengaja menerjemahkan pidato Obama agar penonton di rumah mengerti apa yang dibicarakan Obama saat itu juga. Soal kualitas terjemahan, Trans selalu mengevaluasinya.
SCTV membungkus tayangan pelantikan itu dengan tema Obama dan Gaza. Intinya, stasiun ini ingin membicarakan prospek perubahan kebijakan AS di Palestina semasa pemerintahan Obama.
Dengan segala pendekatannya, pengelola stasiun televisi yang menayangkan pelantikan Obama mengaku berhasil mendongkrak audience share sekaligus menjual iklan.
Euforia Obama yang sebagian besar dibentuk media massa itu, pada akhirnya menjadi barang dagangan media.