30 Januari 2010

Peragaan Pembobolan ATM Tidak Melanggar Kode Etik

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat akhirnya menyatakan peragaan cara membobol ATM di dua stasiun televisi swasta tidak melanggar kode etik. Inilah penilaian yang tepat. Bukan hanya karena peragaan yang ditampilkan itu memang tidak masuk kategori pelanggaran etika penyiaran, tapi juga dari peragaan tersebut masyarakat mendapat informasi yang sangat berguna.

Kontroversi soal etika penayangan peragaan itu muncul setelah Markas Besar Kepolisian membawa kasus penayangan itu ke KPI Pusat. Pihak Polri, yang diwakili Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Edward Aritonang, beralasan tayangan seperti itu akan mengilhami orang untuk meniru cara membobol ATM.

Polisi kemudian meminta KPI memberi “fatwa”. Jika benar menurut KPI, tayangan itu melanggar kode etik dan mengandung unsur pidana, polisi akan memprosesnya.

Entah kebetulan atau tidak, sebelum polisi membawa masalah ini ke KPI, Roy Suryo, anggota DPR dari Partai Demokrat, gencar mempersoalkan tayangan tersebut. Roy, yang oleh media dianggap sebagai pakar telematika, juga mempersoalkan kompetensi Ruby Alamsyah, ahli teknologi informasi yang diminta oleh televisi memperagakan cara pembobolan.

Sejatinya tak ada yang perlu dicemaskan dari peragaan itu. Dalam tayangan tersebut, Ruby diminta oleh pembawa acara televisi menunjukkan bagaimana skimmer (alat untuk mengkloning data-data kartu) digunakan untuk membobol ATM. Juga diperagakan bahwa, begitu dikloning, kartu palsu bisa digunakan menarik uang dari ATM.

Ada banyak nilai informasi dari peragaan ini. Misalnya, betapa mirip skimmer dengan slot tempat memasukkan kartu di ATM sehingga nasabah kesulitan membedakannya. Pemirsa juga jadi sadar bahwa pembobol harus memasang kamera tersembunyi untuk merekam nomor PIN (personal identification number). Tak banyak pemirsa tahu kamera itu begitu kecil sehingga bisa disembunyikan di kotak brosur di sekitar ATM.

Itu sebabnya, langkah polisi mengadukan peragaan pembobolan ATM itu berlebihan. Polisi seolah lupa bahwa pada 2003 Kepolisian Daerah Bali pernah meminta Ali Imron, salah satu pelaku pengeboman di Bali, memperagakan kepada media cara merakit bom dengan alat-alat sederhana dan bahan yang dijual bebas. Justru tayangan seperti inilah yang seharusnya dicegah, karena memberikan petunjuk ke publik betapa mudahnya membuat bom mematikan.

Tayangan peragaan pembobolan ini mestinya juga menjadi pelajaran bagi pihak perbankan. Baru sekarang masyarakat panik karena maraknya pembobolan ATM. Padahal aksi sporadis pembobolan sudah berlangsung lama. Andai saja pihak bank sejak dini melakukan sosialisasi ke publik tentang modus dan alat-alat yang digunakan oleh para pembobol, nasabah tentu akan lebih berhati-hati. Maka, gelombang pembobolan pun bisa dicegah.

Sosialisasi dan proses membangkitkan kewaspadaan publik seperti dilakukan kedua televisi itulah yang mestinya dilakukan pihak perbankan. Tak perlu takut bahwa, karena sosialisasi itu, publik jadi bertanya-tanya dan cemas akan nasib uangnya di bank. Justru dengan adanya sosialisasi, para nasabah jadi yakin bahwa bank memang serius mengamankan uang nasabahnya. (Tempo)

Tidak ada komentar: