Banjir besar, yang katanya 5 tahun sekali, sekarang bisa terjadi beberapa kali dalam setahun. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga diberbagai daerah, yang kadang dibarengi hujan petir, pohon tumbang dan tanah longsor. Televisi mempunyai peran besar dalam mendistribusikan berita bencana alam atau banjir seperti itu. Mereka (crew tv) seperti mendapatkan berkah peliputan atas penderitaan orang lain yang menjadi korban banjir. Wajah lugu pembaca berita tanpa empathi sering kali kita lihat dilayar televisi mengumbar senyum tanpa seolah-olah tidak tahu bagaimana rasanya kebanjiran, kehilangan harta benda atau kehilangan nyawa keluarga.
Tapi bukan berarti para pembaca berita harus menangis tersedu-sedu dilayar televisi ketika membacakan berita-berita kebanjiran. Biasanya, jika hati kecil kita merasa prihatin dan sedih melihat penderitaan orang lain, maka secara otomatis otak kita memerintahkan wajah kita untuk segera berubah. Itu hatus dari hati! Jika tidak, ya berpura-pura prihatin lah dilayar televisi daripada senyum dan ketawa kecil yang bisa menyakitkan hati orang lain..
Upaya dari dalam studio televisi memang harus dilakukan melalui wajah para pembaca berita yang menunjukan keprihatinan. Hal tersebut juga harus dibarengi dengan upaya diluar studio televisi. Saya mendengar reporter Radio Elshinta yang melaporkan kejadian banjir sambil memberikan bantuan kepedulian berupa air minum, nasi bungkus, dll. Saya pikir hal itu juga bisa dilakukan oleh reporter televisi, sambil mengambil gambar ya sambil memberikan bantuan sumbangan. Kenapa Tidak? Jika ada hal yang bagus dari media lain, kita tiru saja, tidak perlu gengsi! Toh itu untuk kepentingan audience para stasiun televisi juga kan? Terima kasih atas perhatiannya. Salam.
06 Februari 2008
Menonton BANJIR di Televisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Itulah namanya presenter tv generasi sekarang, yang penting tampil dulu hehehe
Posting Komentar