25 Januari 2009

Saat Literasi Dibenamkan Televisi

Pernah mendengar hari tanpa televisi? Sejak tiga tahun terakhir, penetapan hari ini telah dikampanyekan beberapa lembaga yang prihatin terhadap konten atau isi tayangan di televisi. Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Nasional Hari Tanpa TV mengimbau para orangtua untuk mematikan televisi di rumah selama satu hari penuh dan menggantikannya dengan melakukan kegiatan yang lebih berguna.

Imbauan tersebut nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk pemberitaan dan hiburan melalui layar televisi. Pengaruh televisi dalam keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku.

Hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu.
Adapun untuk aktivitas literasi angkanya lebih kecil, yaitu 68 persen dari total jumlah penduduk usia tersebut yang membaca ragam sumber bacaan selama seminggu. Ragam bacaan yang ditekuni meliputi surat kabar, majalah, buku pelajaran, buku pengetahuan di luar buku pelajaran, dan buku cerita.

Minat baca
Televisi pada dasarnya adalah sebuah produk teknologi komunikasi. Tidak ada yang ”salah” dengan media yang menawarkan ragam tayangan audio visual tersebut. Hanya saja, pemanfaatannya saat ini dirasa semakin tak seimbang dengan porsi penggunaan produk sosial budaya lain, misalnya budaya membaca. Hal ini terbukti dari persentase penduduk yang memanfaatkan waktunya untuk menonton televisi jauh lebih banyak dibandingkan membaca.

Gejala rendahnya minat terhadap buku dimulai ketika terjadi booming televisi swasta di Tanah Air pada awal 90-an. Ketika televisi swasta pertama Indonesia lahir saat itu, hampir tidak ada yang menyangka jika pada satu dekade berikutnya akan ada belasan bahkan puluhan stasiun televisi swasta lain seperti sekarang ini dengan berbagai variasi tayangan.

Pada masanya dulu hanya televisi pemerintah yang mengudara dengan jam siaran terbatas dan komposisi acara hiburan yang juga terbatas. Aktivitas anggota rumah tangga, khususnya anak-anak, tidak melulu diwarnai dengan menonton televisi, tetapi juga membaca buku atau permainan yang mengandalkan olah fisik. Saat ini, sepulang sekolah, televisi dengan ragam acara hiburan dan saluran merupakan hiburan yang paling digemari anak-anak.

Daya tarik televisi sedemikian rupa sehingga ”pertemanan” anak dengan buku merupakan sesuatu yang langka. Jarangnya interaksi dengan bahan bacaan menjadi salah satu faktor penyebab kurangnya pemahaman seseorang dalam membaca.

Dalam sebuah studi internasional yang rutin dilakukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan membaca anak, khususnya yang duduk di bangku kelas empat (sekolah dasar) menunjukkan total skor yang dicapai anak Indonesia adalah 405 (tahun 2006).
Posisi ini berada di peringkat 36 dari 40 negara peserta, Indonesia hanya menempati posisi di atas negara-negara Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan. Studi yang bernama Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) ini dilakukan setiap lima tahun untuk mengukur tren kebijakan dan pencapaian kemampuan membaca anak dan praktik yang berkaitan dengan literasi dan pemahamannya. (Kompas)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Upaya literasi harus terus berjalan sesuai dengan perkembangan televisi. Tidak ada yang saling memakan kok, asal setiap orang yang ahli dibidangnya tidak putus asa..